JAKARTA (Arrahmah.com) – Undang Undang Informasi dan Tranksasi Elektronik (UU ITE) diminta untuk segera direvisi karena dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia dan anti demokrasi.
“Kebebasan atas informasi dijamin negara tapi pihak swasta dan aparat hukum negara mengabaikan prinsip itu,” kata Stanley Adi Prasetyo dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.
Surat elektronik yang dibuat oleh Ibu Prita, kata Stanley, merupakan keluh kesah atas hak mendapatkan informasi yang tidak didapatkannya. “Namun, ia kemudian dipidanakan karena mempertanyakan atau menginginkan informasi mengenai langkah medis yang dilakukan kepada dirinya,” katanya.
Jika Prita dinyatakan bersalah oleh pengadilan, maka UU ITE dapat mengekang kebebasan berpendapat masyarakat. “Orang akan menjadi ragu atau bahkan takut untuk menyampaikan pendapatnya, terutama yang berkaitan dengan pelayanan atau posisi mereka sebagai konsumen,” kata Stanley.
Menurut Wina Armada, anggota Dewan Pers, Undang-undang ITE ini jika digunakan untuk menampung kemajuan informasi dan teknologi bisa diterima karena memang diperlukan.
“Tapi, jika UU ini masuk ke ranah demokrasi, maka UU ini anti demokrasi,” kata Wina.
Prita Mulyasari, karyawati swasta dan ibu dua anak, ditahan sejak 13 Mei 2009 karena menuliskan keluhannya mengenai pelayanan yang diterimanya dari RS Omni Internasional, Tangerang. Prita dituntut dengan Pasal 27 ayat (3) sUU ITE dan juga Pasal penghinaan di KUHP.
Atas penggunaan pasal tersebut pada kasus ini, Prita terancam pidana kurungan selama maksimal 6 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. (Althaf/inlh/arrahmah.com)