JAKARTA (Arrahmah.com) – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus direvisi dalam 100 hari. UU itu bisa menjadi sarana bagi konglomerat hitam untuk menjerat orang lemah.
Menyangkut kebebasan berekspresi di intenet, Indonesia terhitung masih beruntung dibandingkan negara berkembang lain. Namun kehadiran UU ITE yang awalnya untuk melandasi transaksi online agar berkekuatan hukum itu, juga menyimpan bahaya. Prita Mulyasari adalah salah satu yang sudah menjadi korbannya.
Kalangan pers akan mengirimkan surat kepada Presiden, agar UU ITE direvisi.
Tokoh pers nasional Bambang Harimurti mengatakan pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) seharusnya segera merevisi UU ITE, sesuai janji Presiden SBY.
Jika tidak direvisi dikhawatirkan akan membawa banyak korban, seperti kasus Prita. “Apabila dalam 100 hari tidak dilakukan revisi terhadap UU tersebut, Presiden sudah mengingkari janjinya saat kampanye dulu,” katanya, Senin (26/10).
Ia mengatakan ada beberapa pasal dalam UU yang harus direvisi. Awalnya, UU itu hanya ditujukan untuk mengatur kegiatan bisnis melalui media elektronik. Namun, dalam pelaksanaannya justru digunakan untuk menjerat orang-orang yang menyampaikan kekecewaan melalui blog atau email.
“Apabila tidak ada perubahan atau revisi terhadap UU itu, konglomerat ‘hitam’ akan menggunakannya untuk menjerat orang lemah, seperti Prita,” tegasnya. Sejak kasus Prita mencuat, blogger Indonesia juga terus mencermati UU ITE.
Enda Nasution yang sering disebut sebagai bapak blogger Indonesia menilai, UU ITE perlu diberi kesempatan untuk diimplemetasikan. “Tapi jika dalam tiga bulan banyak kejadian, maka kami akan menentangnya,” imbuhnya.
Namun begitu menurut Enda UU ITE bukan persoalan satu-satunya, sebab banyak pasal lain yang bisa menjerat orang di internet. Saat ini banyak pasal karet yang bisa menyebabkan orang terjerat tindakan pidana. “Jadi tidak cukup dengan mengamandemen UU ITE itu saja,” tandasnya.
Ia menilai kebebasaan berekspresi internet di Tanah Air masih lebih baik di bandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Misalnya di Vietnam dan Kamboja wahana ekspresi di internet negara itu diatur secara lebih ketat. Namun dengan adanya UU ITE dan pasal-pasal karet, kebebasan berekspresi di Tanah Air terancam .
Bambang Harimurti menilai UU ITE juga terkesan tidak konsisten dalam menjatuhkan sanksi atau hukuman terutama sanksi untuk kasus perjudian online. Menurut dia, pelaku tindak perjudian online dalam UU ITE hanya diancam hukuman penjara enam tahun. Padahal tindakan judi tidak online, ancaman hukumannya lebih panjang, yakni penjara sepuluh tahun menurut KUHP. (dtk/arrahmah.com)