JAKARTA (Arrahmah.com) – Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang Intelijen Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Peneliti Hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, selaku pemohon, menyatakan bahwa beberapa materi dalam UU Intelijen tidak sejalan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan semangat untuk mereformasi intelijen.
“Ada 16 ketentuan yang kami anggap bermasalah dan sejumlah definisi yang kami anggap multitafsir,” ujar Wahyudi di Gedung MK, Jakarta, Kamis 5 Januari 2012.
Beberapa pasal dalam UU Intelijen, kata dia, telah melahirkan sejumlah ancaman bagi jaminan kebebasan sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan pers.
UU Intelijen yang seharusnya menjaga tegaknya akuntabilitas intelijen, ujar Wahyudi, beberapa bagiannya justru dirasa membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh lembaga intelijen. “Masih mencampurkan intelijen sipil dan militer. Personel-personel militer yang masuk ke intelijen negara, seharusnya melepaskan jabatannya,” terang Wahyudi.
“Kalau ada pelanggaran, pertanggungjawabannya kan juga jadi jelas, apakah sipil atau militer,” katanya. Direktur Program Imparsial Al Araf menambahkan, tidak ada definisi yang jelas mengenai ancaman dan keamanan nasional dalam UU Intelijen, karena semua dikategorikan ancaman.
Ke-16 pasal UU Intelijen yang digugat yakni Pasal 1 ayat (4), ayat (6), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45, Pasal 29 huruf d jo., Pasal 31 jo. Pasal 34 jo., Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 36.
Wahyudi mengatakan, Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini, ujarnya, memberikan ancaman serius terhadap warga negara, karena setiap orang yang dianggap membocorkan rahasia intelijen, baik sengaja maupun tidak sengaja, diancam dengan hukuman pidana yang berat.
“Ketentuan ini berpotensi disalahgunakan karena dibuat secara lentur, bersifat multitafsir, subyektif, dan sangat tergantung pada interpretasi penguasa, sehingga situasi ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” ungkapnya. Oleh karena itu, pemohon meminta MK membatalkan ke-16 pasal tersebut.(vn)
(bilal/arrahmah)