DHAKA (Arrahmah.com) – Panglima militer Myanmar harus dimejahijaukan karena genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya, seorang penyelidik hak asasi manusia di PBB mengatakan. Ia menambahkan bahwa menahan pelaku untuk bertanggung jawab atas kejahatan diperlukan sebelum para pengungsi yang melarikan diri dari negara itu dapat kembali, Reuters pada Jumat (25/1/2019), melaporkan.
Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, berbicara dalam perjalanan ke Thailand dan Bangladesh, di mana ia bertemu para pejabat dan Rohingya yang terusir dari negara bagian Rakhine barat setelah penumpasan tentara pada tahun 2017.
“Min Aung Hlaing dan yang lainnya harus dimintai pertanggungjawaban atas genosida di Rakhine dan atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di bagian lain Myanmar,” kata Lee merujuk pada panglima militer.
Wawancaranya menandai pertama kali Lee secara terbuka menyerukan panglima militer untuk diadili karena genosida. Sebuah misi pencari fakta PBB di Myanmar tahun lalu mengatakan bahwa kampanye militer, yang menurut para pengungsi termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan, diatur dengan “niat genosidal” dan merekomendasikan menjerat Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya dengan “kejahatan paling buruk di bawah hukum internasional”.
Sejak Agustus 2017 sekitar 730.000 Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh, tempat mereka sekarang tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak.
“Agar pemulangan terjadi … para pelaku harus dimintai pertanggungjawaban, karena mengirim kembali para pengungsi tanpa pertanggungjawaban akan benar-benar memperburuk atau memperpanjang situasi mengerikan di Myanmar,” kata Lee kepada Reuters dalam sebuah wawancara di Thailand pada 18 Januari lalu.
“Dan kemudian kita akan melihat siklus pengusiran lagi,” lanjutnya.
Juru bicara militer dan pemerintah Myanmar tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Negara itu sebelumnya telah menyangkal hampir semua tuduhan yang dibuat oleh para pengungsi terhadap pasukannya, yang katanya terlibat dalam operasi kontraterorisme yang sah.
Dewan Keamanan PBB pada bulan September melakukan pemungutan suara untuk menyetujui pembentukan “mekanisme independen yang berkelanjutan” di Myanmar yang ditujukan untuk mengumpulkan, mengkonsolidasikan, dan melestarikan bukti kejahatan yang dapat digunakan dalam kasus pengadilan akhirnya.
Lee mengatakan mekanisme independen akan menyediakan dana untuk “dukungan korban”, termasuk uang untuk kasus-kasus pidana.
Sementara itu, Myanmar menolak langkah PBB ini.
Lee telah dicegat mengunjungi Myanmar sejak 2017 karena kritik vokalnya melawan perlakuan pemerintah terhadap Rohingya.
Dia mengatakan pihak berwenang Myanmar telah menolak permintaan terbarunya untuk mengunjungi negara itu. “Mereka menjawab dan mengingatkan saya bahwa mereka telah meminta Dewan Hak Asasi Manusia untuk menggantikan saya sehingga mereka tidak dapat terlibat dengan saya,” katanya. (Althaf/arrahmah.com)