JAKARTA (Arrahmah.com) – Selama kurang lebih hampir empat tahun menjabat sebagai presiden, total utang yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bertambah hingga ribuan triliun. Meskipun, utang yang dilakukan tersebut diklaim pemerintah lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan produktif, seperti banyak dialokasikan kepada pembangunan infrastruktur.
Direktur Eksekutif Center Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, mengatakan, pemerintah terus meningkatkan utang, seakan tanpa rem saat Jokowi berkuasa.
“Terlebih dalam rangka melaksanakan program utama pembangunan Infrastruktur. Tentu semakin cepat laju berutang Indonesia,” katanya di Jakarta, Kamis (13/9/2018), lansir Harian Terbit.
Uchok mengungkapkan, salah satu konsekuensinya adalah rakyat yang secara tidak langsung harus membayar dengan cara menaikkan pajak.
“Ya, agar bisa bayar utang. Atau menaikkan harga harga kebutuhan pokok. Tentunya rakyat menjadi cepat sengsara karena dampak-dampak tersebut,” tandasnya.
Ia menilai, beban belanja negara yang terus membengkak setiap tahunnya ditambah dengan hutang negara beserta bunga yang semakin meroket, tidak sanggup ditutupi anggaran negara yang tersedia.
“Defisit anggaran sudah menjadi hal yang pasti bagi Indonesia, namun Jokowi sepertinya tidak khawatir dengan hal tersebut,” lanjut Uchok.
Adapun sejak empat tahun atau pada periode 2014 hingga 2018, jumlah utang pemerintah bertambah dari Rp2.608,8 triliun menjadi Rp4.253,02 triliun per Juli 2018. Mengutip Dokumen Nota Keuangan, posisi utang pemerintah pada 2014 hingga Juli 2018 telah bertambah Rp1.644,22 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy).
Komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp323,79 triliun yang tumbuh 6,8% atau dengan persentase sebesar 7,61% dari keseluruhan pinjaman.
Kemudian pinjaman multilateral tercatat Rp411,19 triliun tumbuh 10,77% atau sebanyak 9,67% dari total pinjaman.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Doddy Ariefianto, menyarankan agar pemerintah dan BI mengambil langkah strategis untuk mencegah pembengkakan utang luar negeri itu.
“Karena posisi hutang luar negeri sudah hampir membahayakan,” tandasnya di Jakarta, Kamis (13/9), lansir Harian Terbit.
Tanda bahaya terutama terlihat pada peningkatan rasio pembayaran utang tahunan yang hingga mencapai 46,31 persen. Rasio ini, menurutnya, merupakan yang tertinggi sejak tahun 2004.
“Kalau sudah sempat mendekati 50 persen, hutang harus segera di rem, karena nantinya sebagian penerimaan dollar hanya untuk membayar utang,” tegasnya.
Terlebih, jika melihat kinerja ekspor yang melemah dalam beberapa bulan terakhir, seharusnya ada pengetatan utang luar negeri. Mengingat, ekspor merupakan salah satu sumber pasokan valas yang digunakan untuk membayar utang luar negeri.
Ia mengatakan, pengereman utang terutama perlu dilakukan pada korporasi yang memiliki lini bisnis utama di pasar lokal. Misalnya, perusahaan leasing, listrik, gas, dan air bersih.
“Sebab pendapatan mereka berupa rupiah. Saat rupiah melemah, mereka terancam kesulitan membeli dollar untuk membayar utang,” jelasnya.
(ameera/arrahmah.com)