(Arrahamah.com) – Anggota Komisi IV DPR RI Hermanto meminta masyarakat agar tidak menggandrungi produk-produk impor. Karena dengan impor akan menguras devisa dan berpotensi meningkatkan utang negara.
“Kalau kita berutang, apalagi utangnya besar, maka kita akan didikte oleh negara pemberi utang. Dikte oleh asing tersebut akan memperlemah sendi-sendi kehidupan bernegara,” kata Hermanto dalam keterangan persnya saat launching kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) di Kota Padang, Jumat (4/8). (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/17/08/05/ou7hn0361-anggota-dpr-kebanyakan-utang-akan-melemahkan-negara)
Catatan
Indonesia dikenal sebagai negara berkembang di dunia ketiga yang berusaha membangun perekonomian negara, utang demi hutang pun menjadi agenda rutin tahunan. Selama ini Pemerintah selalu berargumen bahwa utang mutlak diperlukan untuk pembangunan. Penyebab utama dari bertambahnya utang ini adalah defisit anggaran yang diterapkan oleh pemerintah, artinya pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan.
Tingkat utang pemerintah yang tinggi yang didanai oleh utang luar negeri bisa menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global. Dari gambaran ekonomi secara makro tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang.
Jika utang untuk infrastruktur, rakyat berhak tahu seperti apakah wujud pembangunan yang dimaksudkan? Infrastruktur? Proyek apa saja, di mana lokasinya, berapa nilainya masing-masing, siapa kontraktor yang mengerjakan; lokal, asing atau aseng, berapa banyak tenaga kerja yang terserap, siapa saja atau dari mana asal tenaga kerja yang dimaksud itu, dan banyak pertanyaan lainnya yang menuntut jawaban jujur.
Indonesia membutuhkan infrastruktur untuk mengakselerasi pertumbuhan, memang benar. Hanya saja perlu dijawab rentetan pertanyaan di atas. Rakyat berhak tahu. Karena terkait utang-utang, pada akhirnya rakyat pula yang harus membayar. Di sisi lain, rakyat butuh pekerjaan agar punya penghasilan dan memiliki daya beli. Daya beli atau konsumsi inilah yang sudah lama menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi kita, tatkala investasi dan ekspor terkulai.
Perlu diperhatikan, sistem utang dalam sistem kapitalis juga menerapkan riba dan menjadi alat penjajahan bagi negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang. Dari cara pandang ekonom kapitalis, besarnya utang pemerintah menjadi perdebatan yang cukup sengit, ada sebagian ekonom yang memandang bahwa utang publik adalah kutukan, ada sebagian yang lain menilai sebagai sesuatu hal yang menguntungkan selama tidak berlebihan.
Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya terjadi pada generasi mendatang. Secara logis pemerintah dengan kebijakan fiskalnya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak.
Penekanan pengeluaran biasanya lebih memilih untuk mereduksi subsidi untuk rakyat. Jadi lengkaplah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran yaitu pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah karena subsidi akan ditekan sekecil mungkin agar tidak membebani anggaran negara.
Ainun D. N. (pengamat Sospol)
(*/arrahmah.com)