JAKARTA (Arrahmah.com) – Beginilah luar biasanya Indonesia. Pemerintahan Orde Lama (Orla) tercatat mewariskan utang untuk negeri ini sebesar Rp 794 miliar atau setara dengan 2,4 miliar dollar Amerika Serikat atau 29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada waktu itu.
Total utang tersebut adalah jumlah utang luar negeri Indonesia ke negara-negara maju. Namun meskipun pemerintahan SBY terus menggembor-gemborkan tentang pembayaran utang, nyatanya dalam empat dekade, utang Indonesia bukannya menurun, tetapi malah meningkat.
Tercatat, hingga akhir semester 1 tahun lalu, dari jumlah sekitar Rp 794 miliar pada tahun 1969, membengkak menjadi Rp 1.723 triliun atau equivalen 200,5 miliar dollar AS atau 26,1 persen terhadap PDB.
Hal tersebut berdasarkan laporan tertulis pengelolaan utang pemerintah, yang dikeluarkan Kementerian Keuangan Juli lalu.
Peningkatan utang yang sangat tajam terjadi pada akhir periode Orde Baru (Orba). Waktu itu, total utang dari Rp 552,5 triliun atau 57 persen terhadap PDB pada akhir 1998 meningkat menjadi Rp 939,5 triliun atau 85 persen terhadap PDB pada akhir 1999.
“Peningkatan utang tersebut merupakan imbas dari krisis moneter yang terjadi dan pelemahan nilai tukar yang sangat tajam pada periode itu. Utang yang dilakukan selama pemerintahan Orde Baru hampir seluruhnya merupakan utang luar negeri,” tulis laporan tersebut.
BLBI dalam laporan kepada Menteri Keuangan Agus Martowardoyo itu, menyebutkan utang tersebut berasal dari kreditor multilateral seperti World Bank (Bank Dunia), Asian Development Bank (ADB), dan Islammic Development Bank (IDB), maupun kreditor bilateral seperti Jepang, Amerika dan Jerman. Utang itu termasuk juga Kredit Ekspor (KE) bagi komersial.
“Pada akhir periode Orde Baru, pemerintah mulai menerbitkan surat utang untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp100 triliun. Namun, krisis moneter yang melanda Indonesia akhir tahun 1990an mengakibatkan utang pemerintah bertambah lagi,” lanjut laporan itu.
Celakanya, dalam pemerintahan Soeharto justru harus menerbitkan surat utang lagi untuk menyelamatkan sistem perbankan. Jumlahnya tercatat sekitar Rp 650 triliun selama kurun waktu 1998-2001.
“Ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pada penghujung pemerintahan Orba, mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai utang luar negeri Pemerintah,” demikian laporan itu.
Bahkan hingga kini utang Indonesia pun belum benar-benar terlunasi. Belum lagi ditambah riba nya yang terus beranak setiap tahunnya. Hal tersebut toh tak membuat para pemeganga kekuasaan ‘bertekad’ membebaskan Indonesia dari hutang. Hal tersebut tampak dari ‘gaya hidup pemerintahan’ para pejabatnya.
Rapat di hotel (padahal rapat bisa juga dilakukan di gedung pemerintahan), melancong ke luar negeri tanpa hasil yang signifikan, dan rencana membangun gedung dengan anggaran tak sedikit. Maka tak heran jika hingga kini bangsa Indonesia terus diwarisi utang. (kom/arrahmah.com)