JAKARTA (Arrahmah.com) – Kenaikan BBM, disepakati atau tidak, telah menjadi pemberat hidup rakyat Indonesia saat ini. Bagi yag masih mengutuk-ngutuk atau bahkan terlampau pasrah dengan kenyataan ini, mari kita renungkan sejenak paparan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim berikut ini yang Tim Arrahmah kutip dari laman Facebook resminya pada Selasa (18/11/2014).
Menurut Ustadz Fauzil, yang paling perlu kita risaukan bukanlah naiknya BBM, tetapi menurunnya integritas dan hilangnya kejernihan nurani kita dan khususnya para politisi.
“Yang benar menurut bahasa Indonesia, politisi atau poliTIKUS?” ujarnya mencairkan pemaparan.
Bersebab hilangnya integritas itulah, ujarnya, apa yang dulu ditentang, sekarang dilakukan. Kenaikan BBM hanya salah satu akibat. Ada akibat-akibat lainnya yang sangat mungkin terjadi, yang tampak maupun yang diam-diam (dan ini lebih mengkhawatirkan).
Integritas adalah kualifikasi mutlak seorang perawi hadits. Jika lemah atau rusak integritasnya, maka riwayatnya tidak dipakai. Akan tetapi, alangkah sering kita abaikan hal semacam ini untuk menakar orang-orang yang akan mengurusi kita (pemimpin). Padahal rusaknya integritas akan menjadi awal yang buruk, betapa pun cerdasnya dia. Integritas ini tidak hanya terhadap satu dua orang yang memegang tampuk tertinggi, tapi keseluruhan yang memegang amanah mengurusi negeri, ujar praktisi pendidikan Islam ini.
Malu adalah perisai kehormatan. Jika sudah putus urat malunya, maka khawatirilah sikap dan tindakannya, betapa pun banyak langkah baiknya. Jika integritas sudah tiada, urat malu pun putus sudah, maka BBM naik itu hanyalah dampak terkecil. Boleh jadi akan ada yang lebih besar.
Senantiasa kita perlu bertanya, adakah kita (sebagai rakyat) turut berperan di masa lalu maupun masa kini terhadap tiadanya integritas para pemegang amanah? Di saat yang sama, kita perlu menata langkah untuk saling menguati agar tak kehilangan integritas saat memegang amanah serupa. Alangkah banyak orang yang dulu kita kenal sangat vokal, lalu sekarang seolah tak pernah kita kenal. Sebagian memang benar-benar idealis, lalu terkikis saat melihat lembar-lembar kesempatan yang sangat manis (uang). Sebagian memang sangat vokal sebagai modal untuk memperoleh jalur cepat meraih kesempatan.
Yang memilih vokal sehingga tampak idealis untuk memperoleh kesempatan meraih kepercayaan, bukan bagian kita membincangkannya. Ini memang rusak semenjak awal, sehingga saat memperoleh kesempatan, bersemangatlah mereka melampiaskan ambisi. Tetapi yang awalnya benar-benar sangat idealis, lalu tiba-tiba runtuh karena tergoda syahwat dunia, inilah yang perlu kita khawatiri menimpa kita. Di antara yang hari ini sangat keras berteriak, dulu justru sebaliknya. Demikian pula yang hari ini gigih membela, tahun lalu paling nyinyir mencerca hal serupa.
Saat kecewa amat membuncah, ambillah jarak sejenak agar tak gegabah mengiyakan setiap yang senada dengan gelegak emosi. Ini dapat menjerumuskan kita kepada keadaan yang lebih buruk. Lari dari satu keburukan, lari pada keburukan lain yang lebih mengejutkan.
Apakah ini berarti kita meninggalkan do’a kebaikan bagi pemimpin? Tidak. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Kita menyukainya atau tidak, mendo’akan pemimpin tetap merupakan keutamaan. Jika ia buruk, semoga Allah Ta’ala membaguskannya. Jadi, mendo’akan kebaikan bagi pemimpin serta mengatakan yang haq dan adil merupakan satu rangkaian yang saling menguatkan. Bukan bertentangan. Mengingatkan dengan kalimat yang haq dan adil merupakan peneguhan dari do’a kebaikan yang seharusnya kita mohonkan untuk para pemimpin. Mengatakan kalimat yang haq dan adil kepada pemimpin adalah dalam rangka amru bil ma’ruf. Bukan mencari-cari kesalahan dan memperolokkannya.
Ada sebuah ungkapan dari Al-Jazairi bahwa pemimpin itu cerminan rakyat yang dipimpinnya. Ini mengingatkan kita tentang pentingnya berbenah. Fakhruddin Ar-Razi menasehati, “Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim maka hendaklah mereka (rakyat) meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan,” pungkas Ustadz Fauzil Adhim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan dari bawah (bottom-up) merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan rakyat Indonesia. Seandainya Ummat Islam melaksanakan syari’at dalam kehidupan secara kaaffah, tentunya seorang penghibur yang menjajakan tubuhnya tidak akan tampil menjadi representasi kita (misal: legislatif).
Celakanya saat demokrasi dielu-elukan, mayoritas representasi rakyat adalah yang mewakili kebiasaan masyarakat. Ini bukan perkara para pemilih “berakhlaq baik” ramai-ramai memilih untuk golput. Namun inilah bukti bahwa demokrasi memang tidak layak digunakan Ummat Islam sebagai alat menuju kejayaan Islam secara berjama’ah. Toh saat orang baik maju bersanding di atas panggung kekuasaan, tetap saja dia dapat dijegal dengan senjata yang bernama demokrasi, sebab di negeri ini semua dapat dibeli, termasuk suara pemilih yang dipercaya sebagai amunisi.
Inilah bukti bahwa dakwah belum lagi usai. Penyadaran masyarakat akan keselamatan dengan berislam masihlah perlu digalakan. Pembiaran pelanggaran syari’at sekecil-kecilnya karena kurangnya ilmu masyarakat, boleh jadi menyuburkan sikap permisif atas kerusakan dalam bermasyarakat. Semisal korupsi, tak akan mungkin merajalela jika pihak yang mengetahui bahwa itu sebuah dosa berani melaporkannya atas nama perintah Allah, ‘amar ma’ruf nahyi munkar.
Maka inilah lecutan bagi kita untuk berinstrospeksi. Kita tak bisa berjalan sendiri-sendiri, perlu diadakan perapatan barisan dalam kekaaffahan. Jika kita tetap mengandalkan sistem tak diridhoi ini, siapapun presidennya, BBM akan tetap naik hingga harga tertinggi. Mari kita tegakkan peradaban Islam kembali, agar keadilan ditakar bukan hanya dari nilai kesejahteraan duniawi. Tak elok kita memperjuangkan penerapan syari’at Qur’an, namun tidak disertai i’tiba kepada Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. Wallahu a’lam bish showab. (adibahasan/arrahmah.com)