Arrahmah.com) –Perlu tiga hari lagi bagi warga Mentawai, untuk dapat memakan sagu yang diambil di ladang hari ini. Di waktu menunggu, mereka mengganjal perut dengan pisang, ketela, atau keladi.
Itulah salah satu kondisi yang membuat prihatin Ustadz Heri Syahmuda Sitorus, ketika tiba di Dusun Tubeket, Desa Makalau, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada Juli 2012. Ia ditempatkan di sana sebagai da’i pengabdian Dewan Da’wah, untuk dapat mengikuti wisuda sarjana ilmu komunikasi Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohamad Natsir, Jakarta.
Bertugas di dusun yang terisolir, dinikmati Heri yang membawa serta istrinya, sebagai kenangan masa kecil. ”Kehidupan di Tubeket mengingatkan kami pada masa-masa kecil dahulu, tiga puluh tahun silam. Masa itu kami menjalani kehidupan yang sangat sederhana dengan fasilitas serba terbatas,” tulisnya dalam laporan yang dikirim belum lama ini.
Untuk memasak, Heri dan istri berbagi tugas mencari kayu bakar dan mengangkat air. Namun istrinya tak mengangkat yang berat-berat, lantaran tengah mengandung anak pertama.
”Air yang kami pakai hujan yang ditampung di bak,” katanya. Jika sepekan air dari langit tidak turun, mereka terpaksa mandi sekali sehari. Sedangkan untuk mencuci, keduanya harus pergi ke litau (parit kecil), bergabung dengan warga lainnya.
Sepekan sekali, setiap Rabu, Heri dan istri ke Sikakap, ibukota kecamatan, guna belanja kebutuhan sehari-hari. Perjalanan ditempuh dengan menumpang boat selama satu jam, mengarungi ombak lautan yang cukup ganas. Turun dari boat, pakaian basah-kuyup itu sudah pasti. Namun resiko itu belum seberapa dibanding bahaya jika boat terbalik kena hantaman ombak atau kepenuhan air.
”Pernah kami para penumpang boat terpaksa terjun ke laut menyelamatkan diri karena dalam boat sudah penuh tumpahan air laut,” kata Heri. Mereka lalu berpegangan pada sisi boat, sebelum perahu kayu ini dikeringkan sampai bisa dinaiki lagi.
Di Sikakap, istri Heri mesti pandai-pandai bersiasat dengan keterbatasan uang mereka agar kebutuhan selama sepekan dapat dibawa. Maklumlah, harga di sini tak seperti di Padang atau Jakarta. Bayam seikat kecil saja, harganya mencapai Rp 3000. Apalagi beras.
Heri dan istri biasanya membeli sayuran yang cukup tahan lama tanpa disimpan di kulkas, yaitu kentang dan labu jipang. ”Kentang dan labu jipang jadi favorit kami. Bukan karena hobby, tapi terpaksa,” ujar Heri berkelakar. Begitupun, ia tetap menikmatinya dengan rasa syukur, untuk membunuh rasa bosan.
Usai belanja, Heri mengajak istrinya bersilaturahim ke keluarga Ustadz Hasan Basri Pasaribu. Ustadz Hasan Basri adalah da’i senior Dewan Da’wah di Sikakap. Saat gempa dan tsunami melanda Pulau Pagai tahun 2009, kediaman famili sang ustadz jadi posko bersama LAZIS Dewan Da’wah dan Al Azhar Peduli Umat.
Waktu di Sikakap juga dimanfaatkan Heri untuk berbagi kabar dengan LAZIS Dewan Da’wah Pusat.
Rabu sore, saat ombak sudah agak tenang, barulah mereka menumpang boat kembali ke Tubeket.
Rutinitas harian Heri dan istri berlangsung pada pukul 08.00-12.00 WIB, dengan mengajar di Sekolah Dasar Tubeket. Ba’da Dzuhur, sang istri mengajar anak-anak Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Setelah enam bulan berlangsung, jam belajar TPA digeser jadi ba’da Ashar dan ba’da Maghrib sampai Isya.
”Alhamdulillah, anak pertama kami lahir, sehingga jam belajar TPA digeser mundur,” terang Heri, yang kini jadi bapak dari Mush’ab Syahmuda.
Setiap Jum’at dan Ahad shubuh, mereka mengadakan muraja’ah tahfidz Qur’an. Alhamdulillah, kini sudah beberapa santri yang menyelesaikan Juz 30 dan tengah melanjutkan hafalan Juz 1.
Salah satu prestasi anak-anak Tubeket adalah mendapatkan Juara II Putra-Putri Tahfidz Tilawah/Non Tilawah dan Adzan di ajang MTQ Tingkat Kabupaten di Muara Siberut tahun 2012.
”Prestasi anak-anak itu membuat kami bangga dan bersemangat menggali lagi potensi anak-anak Tubeket,” ujar Heri.
Tantangan berat da’wah Ustadz Heri adalah mengubah kebiasaan masyarakat. Misalnya dalam hal kebersihan. Nyaris semua warga Tubeket tidak punya sumur dan belum mengenal sistem WC (water closet). Jadi, mereka memanfaatkan alam sekitar sebagai tempat MCK (mandi-cuci-kakus). Untuk mandi, mereka cukup pergi ke litau. Bahkan tanpa sungkan, mandi nyaris telanjang di tengah keramaian orang di parit. Sedangkan untuk Buang Air Besar (BAB), warga pergi ke tepi atau ke sungai.
Heri kemudian membuat gerakan ”Gali Sumur dan WC”. Program ini ia mulai dari pondokannya sendiri. Respon masyarakat memang agak dingin, karena program dianggap jadi beban belaka buat mereka. Juga dinilai tidak praktis.
”Meski belum terlihat respon yang cukup baik, kami tetap berusaha mengajak masyarakat agar terbiasa,” kata Heri pantang menyerah.
Sang Ustadz juga memperkenalkan budaya menanam tetumbuhan produktif. Misalnya, menanami halaman pondok dan masjid dengan cabe merah, bayam, dan kacang. Namun karena kurang waktu untuk menelateni, tanaman cabe gagal panen.
Heri juga coba mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat. Ia mengajak warga untuk makan beras, sebagai pengganti ketergantungan pada sagu dan bahan pangan substitusinya yang sangat terbatas dan tidak efisien.
Ketika banyak keluarga mulai menikmati nasi, masalah muncul. Harga beras yang sudah tinggi di Mentawai, semakin melonjak tatkala gonjang-ganjing melanda departemen yang mengurus pangan nasional.
Heri lalu mengajak warga Tubeket mulai membuka ladang persawahan. Ini pekerjaan besar dan berat, karena sudah 15 tahun terakhir masyarakat setempat tak mengenal pertanian padi.
Ustadz Heri memulai gerakan tanam padi dengan merangkul penatua (tokoh atau tetua masyarakat), kepala dusun, dan pemuka agama. Alhamdulillah, dengan restu mereka, masyarakat membuka ladang persawahan seluas 20 hektar.
Dengan semangat ”bonek” (bondo nekad), Heri memimpin warga membuka belukar jadi ladang, mencarikan bibit, pupuk, dan mengelola perairan dan perawatan. Itu semua tak lepas dari bantuan dinas pertanian dan tenaga penyuluh pertanian setempat.
Hasilnya, alhamdulillah, padi menguning terhampar di Tubeket. Bersama warga dan aparat desa serta anggota dewan daerah, Ustadz Heri menyelenggarakan panen raya perdana padi Tubeket di bulan April 2013 ini.
Melanjutkan gerakan revolusioner tersebut, Heri tengah mempersiapkan pembentukan Kelompok Tani dan Nelayan (KTN) Tubeket. Salah satu ikhtiarnya adalah mengusahakan bantuan mesin perahu nelayan berkekuatan 5 PK untuk lima KTN.
Kebutuhan lain warga Tubeket yang hampir semuanya dhuafa adalah sarana penerangan, semisal listrik mandiri masyarakat (limar). Limar adalah paket penerangan sederhana dengan catudaya aki.
Untuk mendukung program dakwah Ustadz Heri, silakan mampir ke Gedung Menara Da’wah Jl Kramat Raya 45 Jakarta, Telp (021) 31901233; Fax (021) 3903291. Atau silakan SMS ke nomor 085882824343.
(nurbowo)
(saifalbattar/arrahmah.com)