JAKARTA (Arrahmah.com) – Terkait stigma media penyebar terorisme yang dialamatkan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) ke beberapa media Islam termasuk arrahmah.com, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) menilai tindakan tersebut tergantung kepentingan proyek yang dijalankan oleh pemerintah.
“Ya mau-maunya mereka saja, nanti dibilang orang sholat jama’ah pun bisa mereka sebut terorisme, nanti mereka bisa saja membuat undang-undang yang melarang sholat Jama’ah,” kata Ustadz Khaththath kepada arrahmah.com beberapa waktu lalu.
Lanjutnya, sebagian umat Islam yang menilai deradikalisasi sebagai hal yang baik harus menyadari bahwa itu hanyalah tahapan pertama dari upaya merusak islam.
“Memang sementara, sebagian umat Islam ada yang menilai bahwa deradikalisasi bagus, dan itu tidak masalah dengan umat Islam, karena pemerintah kan mengizinkan sholat. Tapi, nanti suatu ketika setelah selesai proyek deradikalisasi, akan ada peraturan yang mereka buat untuk proyek melarang sholat berjamaah, proyek larangan berjilbab, undang-undang pewajiban jilbab saja diganjal. Dulu jilbab dibilang ninja dan sebagainya,” ucap Ustadz Khaththath.
Maknanya, tambah Ustadz Khaththath, semua labelisasi yang dialamatkan kepada umat Islam tergantung program yang sedang dijalankan oleh pemerintah dan BNPT.
“Artinya, semau-mau BNPT lah, nanti kalau orang berbaju putih bisa disebut teroris. Jadi, ini semau-maunya dia, karena ini kan intinya proyek,” ujarnya.
Menghadapi gelombang serangan dan tudingan kepada media dakwah, Ustadz Khaththath menghimbau agar media-media Islam agar bersatu dan kerjasama dalam menghadapi tantangan tersebut.
“Media Islam harus mempunyai persatuan, buat forum intensif dan interaktif membahas dan mencari solusi dari setiap persoalan yang ada, agar dapat menghadapi segala persoalan secara bersama-sama,” imbuhnya.
Sambung Ustadz khaththath, stigmatisasi negatif yang dilakukan oleh BNPT terhadap media Islam merupakan upaya membangun alasan rasional untuk membungkam media tersebut.
“Media kan tidak sembarang bisa dibungkam, sebab jika media Islam dibungkam, media lain harus dibungkam juga, makanya mereka membuat istilah-istilah media penyebar terorisme,” terangnya.
Menghalau propaganda tersebut, menurutnya media Islam harus menyajikan berita dan penggunaan bahasa berita yang komprehensif tidak melulu segmentatif agar tidak mudah terkena stigma negatif.
“Jadi misalkan media Islam, tidak hanya membicarakan jihad saja, harus bicara ukhuwah, waqaf, dan kalimat yang lain, sehingga menggambarkan Islam secara menyeluruh. Maka, mereka tidak bisa menembak sebagai media terorisme,” ungkap Ustadz Khaththath.
Ia menjelaskan, di tengah era kebebasan di Indonesia, media merupakan salah satu instrumen yang merasakan kebebasan yang lebih dari cukup. Hal ini menurutnya, harus direspon oleh Umat Islam untuk membangun media-media dakwah yang lebih baik secara kuantitas dan kualitas.
“Maka dari itu, mesti ditumbuhkan lebih banyak media Islam, baik elektronik, online, dan media cetak. Para aghniya (orang kaya) harus banyak mensupport dan membantu usaha-usaha mendirikan media Islam,” tutup Ustadz Khaththath. (bilal/arrahmah.com)