JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemilu 9 April 2014 dihadapan mata, bukan hanya janji yang ditebar oleh para kontestan lewat para juru kampanyenya, namun juga “ancaman”. Maksud “ancaman” di sini adalah beredarnya lewat broadcast, dan banyak media sosial bahwa legislatif akan dikuasai oleh kelompok kafir dan Syiah. “Ancaman” ini coba mengganggu kaum Muslimin yang sudah tetap pendiriannya untuk berlepas diri dari pemilu yang merupakan sistem syirik demokrasi.
Benarkah bahwa Indonesia akan hancur kalau banyak umat Islam golput alias tidak memilih dalam Pemilu 2014? Atau malah sebaliknya umat Islam akan dihina, dinista, dan dibantai saat memasuki wilayah demokrasi.
Topik yang dibahas kali ini bukan lagi masalah halal-haram demokrasi. Aktivis Islam sepakat, hukum mutlak demokrasi adalah haram. Perbedaan terjadi di ranah ijtihadi, yaitu ikut serta dalam pemilu (dan juga parlemen) untuk membentengi atau meminimalisir dampak kerusakan yang terjadi seandainya parlemen dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
Ustadz Abu Rusydan, ideolog dan pemerhati gerakan jihad Islam berkenan menerima wartawan Kiblat.net untuk menjawab kebingungan umat seputar masalah pemilu 2014 .
Ustadz, bagaimana hukum keikutsertaan umat Islam dalam apa yang sering disebut sebagai pesta demokrasi, yaitu pemilu?
Kita memberangkatkan pemikiran kita dalam masalah ini, dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan””. (Al-Maidah: 100)
Jadi yang perlu dipahami adalah bahwa tidak sama antara al-khobits (keburukan) dengan at-thoyyib (kebaikan). Demokrasi itu al-khobits, Al-Islam itu at-thoyyib, jelas tidak akan pernah sama dan tidak boleh dipertemukan. Demokrasi itu adalah al-khobits,syuro syar’i itu at-thoyyib. Jadi ini tidak boleh dipertemukan, tidak sama.
Mempertemukan, menggabungkan dua persoalan ini berarti sama dengan melanggar larangan “Wa laa talbisul haqqo bil baatil”(janganlah mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil, red). Ini masalah besar, ya kan?
Jadi, kalau kita melihat demokrasi itu sendiri adalah “akhbatsul khobaaits”, sekotor kotornya kotoran. “Adzlamudz-dzul”, segelap-gelapnya kegelapan. “Ankarul munkar”, semungkar-mungkarnya kemungkaran.
Karena apa, satu perkara yang merupakan kejahatan paling besar dari demokrasi yaitu “I’thou sulthoti tasyrik al ‘ulya lighoirillahi ‘Azza wa Jalla.” Yaitu memberikan kekuasaan tertinggi membuat undang-undang kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah:50)
Jadi yang berhak untuk membuat undang-undang dan hukum bagi kehidupan umat manusia, membuat syari’at, itu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara demokrasi menyerahkan kekuasaan tertinggi membuat undang-undang, membuat syari’at, membuat tatanan untuk kehidupan manusia itu kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu demokrasi, dalam hubungan dengan masalah ini, jelas merupakan syirkun akbar, syirik terbesar. Jadi barang siapa yang kemudian terlibat di dalam demokrasi itu ada beberapa tingkatan tentunya.
Pertama, adalah siapapun yang ridho terhadap demokrasi, baik ia terlibat atau tidak terlibat dalam kegiatan dan syi’ar-syiarnya, tetapi dia ridho terhadap demokrasi maka dia termasuk orang yang ridho terhadap syirik akbar. Orang yang ridho terhadap syirik akbar, maka dia terlibat pada kesyirikan. Dan itu “yakhruju minal Islam”, jelas keluar dari Islam. Siapa yang ridho.
Kedua, ialah siapa yang melakukan kegiatan dalam hubungan dengan demokrasi, sementara dia tidak ridho, dia menolak tetapi dia ikut kegiatan, hatta dia hanya sekedar melipat kertas suara atau mengangkat kotak suara, maka “amaluhu haromun wa roohibuhu harom”. Maka pekerjaan terlibat urusan demokrasi itu pekerjaan yang haram, kalau dia menerima uang maka itu gaji atau bayarannya itu haram. Tetapi kita tidak mengkafirkan untuk golongan yang kedua.
Adapun masyarakat umum, rakyat jelata, “amatul muslimin” dalam hubungan dengan Indonesia ya kita harus menerangkan kepada tentang masalah ini. Kita tidak mengkafirkan mereka, tetapi kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa sebenarnya demokrasi itu syirkun akbar, syirik yang paling besar. Ini dari segi persoalan syiriknya.
Dari segi praktik demokrasi, disamping demokrasi itu syirik akbar, demokrasi itu juga jahat. Karena apa, ketika para pengusung demokrasi mengatakan bahwa ‘vox populi vox dei’, suara rakyat suara tuhan, ya tho? Mereka mengatakan seperti itu. Itu pada dasarnya mereka sedang melakukan satu manipulasi ya, jadi rakyat itu dihisap darahnya selama lima tahun, kalau di Indonesia ya. Kalau di Amerika mungkin empat tahun atau dimana lagi ada berapa, tiga tahun enam tahun dan sebagainya.
Tapi kemudian mereka pada hari, mereka katakan apa ya, bulan-bulan pemilu katakanlah semacam itu, mereka hanya diberi topi, diberi baju, mungkin diberi uang ketika hari mencoblos mungkin ya. Tapi itu tidak cukup, hanya mungkin lima puluh ribu seratus ribu sudah hebat ya kan? Sudah banyak sekali. Tetapi itu tidak seimbang dengan apa yang akan dihisap dari darah rakyat selama lima tahun atau empat tahun atau sekian tahun.
Jadi sekali lagi, demokrasi dari pandangan apapun, disamping syirik akbar, demokrasi juga merupakan suatu hal yang jahat. Dan praktik demokrasi di Amerika sendiri, dedengkotnya demokrasi, itu juga sudah tidak lagi dipercaya orang untuk mampu membahagiakan kehidupan.
Ada satu buku bagus, ‘Democracy Under Pressure’, itu bagaiman menjelaskan tentang kejahatan demokrasi di Amerika. Dan itu bagus sekali kalau orang mau baca. Di Indonesia apa yang dia dapatkan oleh rakyat dari demokrasi? Tidak pernah ada. Fakta telah menghasilkan pemimpin dari ketua RT sampai kepada presiden merupakan orang-orang yang jahat, orang-orang yang paling buruk memimpin negeri ini dengan demokrasi.
Jadi kalo harus ditegaskan hukumnya ya ada tiga derajat itu tadi, siapa yang ridho dengan demokrasi, terlibat atau tidak terlibat, maka dia telah terlibat pad syirik akbar dan itu yakhruju minal Islam. Yang kedua, siapa yang ikut kegiatan walaupun tidak ridho dia harus tidak ridho, ya. Kalo ridho ikut yang pertama, dia ikut kegiatan demokrasi, apa namanya, pesta demokrasi atau apapun namanya, syetan bisa memberikan nama apa saja, ya kan. Itu dia kalau dia bekerja dalam urusan itu, maka pekerjaannya itu haram. Kalau dia menerima uang maka uang yang diterima itu haram, tapi kita tidak mengkafirkan mereka.
(azm/kiblat.net/arrahmah.com)