JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketok palu Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 17/2/2012 tentang Anak Zina Memiliki Hak Perdata terhadap Ayah Biologisnya telah banyak menuai protes dan kecaman karena memiliki indikasi tentang adanya pelegalan perzinahan oleh lembaga tinggi negara selevel MK. Adapun bunyi Pasal 43 UU No.1/1974 menurut MK bunyinya seharusnya adalah sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Konteks tambahan terhadap diakui adanya pertalian nasab antara seorang anak hasil di luar perkawinan dengan laki-laki (bapak biologisnya) itulah yang telah dipertanyakan kepada MK, karena hal ini mengundang kecurigaan telah berhasil terinfiltrasinya lembaga itu oleh campur-tangan kaum liberal.
Menjelaskan perkara tentang cara kekafiran berpikir MK tersebut, ustadz Abu M. Jibriel AR pada sabtu (21/4/2012) kemarin bertempat di masjid Baiturrahman, Menteng Jakarta Selatan—mencoba untuk kembali mengingat tentang firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah, 2:208)
Ayat tersebut menekankan bahwa manusia wajib menerapkan syari’at Allah Ta’ala dan juga wajib meninggalkan segala sistem yang diproduksi oleh syetan laknatullah, sementara kehidupan bernegara ini banyak memproduksi undang-undang kafir karena berhukum kepada thoghut.
Allah Ta’ala juga kembali menegaskan hal ini dalam firman-Nya yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’, 4:59-65)
“Manusia apabila berpikir tidak berdasarkan landasan al-Qur’an dan sunnah maka ia akan mengambil caranya sendiri, yaitu atas dasar kepentingan hawa-nafsunya semata,” jelas ustadz Abu Jibriel. “Sementara hawa-nafsu jelas mencondongkan manusia kepada apa-apa yang bertentangan dengan syari’at Allah, seperti pada produk hukum buatan manusia. Ramai-ramai mereka mencoba menandingi hukum Allah, dan kalau hukum buatan itu pun sudah tak bersesuaian—ramai-ramai pula mereka kembali ‘bongkar-pasang’ ayat. Bahkan mirisnya, yang sering berjalan di negeri ini akhirnya adalah maraknya sistem KUHP alias Kasih Uang Habis Perkara.” Lanjut ustadz Abu Jibriel yang disambut anggukkan kepala para jama’ah yang tampak padat siang itu. Acara yang rutin digelar tabloid SUARA ISLAM pada tiap sabtu pekan ketiga tersebut juga dihadiri oleh ustadz M. Al-Khatthath (sekjen FUI) dan H.M. Luthfie Hakim, SH (wakil sekretaris Hukum dan perundang-undangan MUI).
Kembali kepada perkara tentang status anak di luar perkawinan syah (baik secara sirri maupun yang telah tercatat oleh negara), Rasulullah telah jauh-jauh waktu menyampaikan dalam haditsnya bahwa, “Siapa saja laki-laki yang menzinahi perempuan merdeka ataupun budak, maka anak yang dihasilkan darinya adalah anak zina. Anak tersebut tidak bisa mewarisi ayah biologisnya dan tidak pula bisa diwarisi oleh ayah biologisnya.” (HR. Tirmidzi). Juga yang ditulis Muhammad al-Kharsyi yang termaktub dalam kitab Syarah Mukhtasar Khalil yang menegaskan bahwa status anak zina pertaliannya atau nasabnya telah terputus dari bapak biologisnya.
Banyak sanksi-sanksi yang mengikut dibelakangnya akibat terputusnya pertalian nasab antara anak hasil zina dengan bapak biologisnya, diantaranya yang bertalian dengan hukum waris dan status kemahraman keduanya. Mengenai status mahram, sesuai dengan yang telah dijelaskan bahwa keduanya telah terputus nasab, maka anak zina bukanlah mahram bagi laki-laki (ayah biologisnya) dan juga keluarga laki-laki tersebut. Sementara pertalian nasab atau hubungan kemahraman bisa didapatkan oleh tiga perkara, yaitu karena nasab, persusuan, dan juga karena perkawinan.
Oleh karena itu, keputusan MK yang sudah merubah isi dari Pasal 43 UU No. 1/1974, merupakan pelanggaran terhadap hukum syara’. Ditengarai bahkan terdapat adanya pro-aktif kaum liberal dalam hal ini. Perlu diingat bahwa mereka tak pernah berhenti meminta di-revisinya undang-undang perkawinan, juga dikeluarkannya draft revisi UU, lalu munculnya CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam) oleh tim PUG-Depag di tahun 2004.
Kita saksikan juga sampai detik ini di sisi yang bersamaan, semakin gencarnya mereka dalam menuntut dikeluarkannya undang-undang kesetaraan gender, menuntut penghapusan pelaksanaan poligami, menuntut dibolehkannya pernikahan lintas agama dan pernikahan sejenis, dan seabreg tuntutan yang selalu berujunga kepada usaha pencampakkan aturan-aturan Allah Ta’ala.
Saat ditanya tentang gembar-gembor HAM, ustadz Abu Jibriel juga dengan tegas menekankan, “HAM itu tidak pernah berbicara tentang hak-nya Allah dan juga hak-nya Rasul, akan tetapi HAM hanya mengedepankan tuntutan manusia akan hak-nya terhadap manusia lainnya dengan aturan yang dibuat juga semaunya oleh manusia itu sendiri. Padahal Allah dalam QS. an-Nisa’ ayat 60-61 sudah menjelaskan tentang diwajibkannya manusia untuk hanya tunduk pada tiap hukum yang Allah buat.”
Oleh karena itu ustadz Abu Jibriel sangat menekankan bahwa disinilah letak sangat diperlukannya penerapan syari’at Islam karena hanya dengan syari’at-Nya lah segala kemashlahatan antara manusia dan yang terkait didalamnya akan pasti terpenuhi. Allah Ta’ala yang menciptakan alam, tentu dengan aturan-Nya pula sehingga alam akan menjalani masanya secara berkesinambungan.
“Dan orang-orang yang berusaha dengan maksud menentang ayat- ayat Kami dengan melemahkan (kemauan untuk beriman); mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka. Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. Dan apabila dibacakan dihadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami dihadapan mereka. Katakanlah: “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (QS al-Hajj, 22 : 51, 67, 72). (Ghomidiyah/arrahmah.com)