“Aku datang membawa segala kemuliaan, rahmat, barakah dan maghfirah Allah untukmu. Sambutlah aku… Marhaban, Ya Ramadhan Al Mubarok.”
(Arrahmah.com) – Pada ahad (8/7/2012) pagi sekitar pukul 09.45 wib, bertempat di masjid Muhammad Ramadhan Bekasi, Majelis Ilmu Ar-Royyan kembali menggelar kuliah umum dengan mengangkat tema berkenaan dengan Ramadhan yaitu “Targhib Wa Tarhib Ramadhan”.
Bahasan ini dipilih karena sangat tepat dan sesuai dengan atmosfir bulan Ramadhan yang sudah mulai terasa serta beberapa hari ke depan akan kembali hadir ditengah-tengah umat Islam di seluruh dunia. Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdur Rahman selaku amir MI Ar-Royyan juga wakil Amir Majelis Mujahidin menjadi narasumber tunggal saat itu.
Ustadz Abu M. Jibriel terlebih dahulu menyampaikan tentang makna targhib dan tarhib yang sudah akrab di telinga umat Islam, namun tak jarang -masih banyak juga yang awam tentangnya. Dijelaskan bahwa targhib memiliki makna memberi motivasi, lalu dalam makna yang ada kaitannya dengan Ramadhan ia berarti memberi kabar gembira dan motivasi agar kaum muslimin melakukan persiapan dalam menyambut hadirnya Ramadhan yang mengandung banyak keberkahan, keistimewaan, serta adanya lipat-ganda pahala.
Sebagaimana tersebut didalam hadits yang mulia antara lain : “Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh barakah, Allah mewajibkan kamu berpuasa padanya, selama bulan ini dibuka pintu-pintu Surga dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelunggu syetan-syetan. Pada bulan ini terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Maka barangsiapa yang tidak berhasil memperoleh kebaikannya, maka sungguh tiadalah orang itu memperoleh kebaikan dan keberuntungan selama-lamanya.” (HR Ahmad, Nasai’y dan Al Baihaqi).
Dan didalam shahihain dikatakan: “Barang siapa berpuasa Ramadahan karena mengimanai keawajibannya dan merasa senang dan ikhlas mengamalkannya,maka dihapuskan dosa-dosa nya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim). Dan hadits-hadis yang senada sangat banyak.
Sementara tarhib berarti ancaman, yaitu yang ditujukan kepada kaum muslimin yang melalaikan perkara wajib ini tanpa adanya udzur syar’i. Bagi yang tidak berpuasa pada bulan tersebuat diancam dengan siksa yang dahsyat. Diantara sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:
“Ikatan Islam dan sendi agama itu ada tiga, diatasnya didirikan Islam. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu diantaranya berarti dia kafir terhadapnya dan halal darahnya. Yaitu syahadat Laa ilaha illallah, shalat maktubah (fardhu) dan puasa Ramadhan.” (HR Abu Ya’la, Dailami, shahih menurut Az Zahabi). Dan sabdanya lagi: “Barangsiapa yang berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa uzur yang diberikan Allah kepadanya, maka puasanya tidak akan dapat dibayar meskipun berpuasa sepanjang masa.” (HR Abu Daud, Ibn Maajah dan Tirmidzi)
Kemudian beliau menjelaskan cara terbaik mengetahui permulaan Ramadhan yang penuh berkah, ialah melalui jalan ru’yatulhilal atau melihat secara langsung munculnya bulan baru atau anak bulan. Didalam majmu Fatawa Imam Ibn Taimiyah (25/113,132,146) disebutkan bahwa penetapan tempat terbitnya hilal dengan hisab adalah tidak sah. Karena kita mengetahui secara pasti dalam agama Islam penetapan hilal puasa, haji, iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal melalui informasi yang disampaikan oleh ahli hisab adalah tidak dibolehkan. Nash –nash syar’iy mengisyaratkan, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sesungguhnya kami ummat yang ummi tidak menulis dan tidak pula berhitung, bulan itu begini dan begitu….” (HR Bukhari 1913 dan Muslim 1080)
Yakni terkadang dua puluh Sembilan, terkadang tiga puluh. Lebih tegas lagi dalam hadits riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab, para sahabat Nabi SAW menceritakan kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda:
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu (untuk iedul fitri) dengan melihat hilal dan menyembelihlah kamu karena melihatnya. Jika awan menutup penglihatan kamu untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Jika dua orang bersaksi maka berpuasa dan berbukalah.” (HR. Bukhari 1776 dan Muslim)
Jika merujuk kepada kalender pemerintah Arab Saudi (Ummul Quraa), maka awal Ramadhan akan jatuh pada, hari jum’at 20 Juli 2012. Begitupun dengan Muhammadiyah yang telah memutuskan dengan tanggal yang sama. Sedang merujuk almanak Persatuan Islam 1433 H, hasil perhitungan dewan hisab dan rukyat Persis maka pimpinan Pusat Persis menyampaikan edaran sebagai berikut Kamis 19 juli 2012 saat Magrib (malam jumat) posisi bulan diseluruh Indonesia hilal “ghairu imkanir rukyat” karena bulan belum wujud menjadi hilal. Maka bulan Sya’ban 1433 H digenapkan menjadi 30 hari (istiqmal) dan 1 Ramadhan 1433 H ditetapkan Sabtu 21 juli 2011. Dan Iedul Fitri 1 Syawal 1433 H jatuh pada hari Ahad,19 Agustus 2012 M.
Ta’lim pun dilanjutkan dengan membaca firman Allah Ta’ala,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 183-185)
Allah Ta’ala telah memerintahkan umat Islam atas kewajiban shaum Ramadhan. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa shaum (puasa) artinya menahan diri dari makan, minum, dan berjima’, yang disertai dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala sebelum fajar shadiq. Ia juga mendatangkan banyak sekali manfaat, diantaranya yaitu sebagai sarana kebersihan dan kekuatan fisik, juga sebagai penyucian jiwa dari keburukan dan akhlak yang rendah, serta mempersempit gerak setan, seperti yang disabdakan Rasulullah saw berikut:
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah. Dan barangsiapa yang belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hakikat shiyam Ramadhan bagi para Mukminin sangat tinggi dan mulia, memiliki beberapa fungsi yang teramat penting, diantaranya: sebagai salah satu jalan untuk mencapai ketaqwaan, sebagai Tarbiyah Ruhiyah sehingga menguatkan jiwa, mendidik jiwa memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam beramal sholeh, menyehatkan badan, mengenali nilai kenikmatan yang selama ini dimiliki namun terkadang lalai untuk disyukuri, mengingat dan bisa merasakan penderitaan orang lain, melatih diri untuk menundukkan musuh Allah dari kalangan jin dan manusia, menumbuhkan sifat sabar, serta menahan anggota tubuh dari perbuatan dosa. Inilah hakekat shiyam yang terpenting.
Selain memiliki fungsi sangat tinggi dan mulia, juga mempunyai keistimewaan-keistimewaan dibanding bulan-bulan lain. Amal-amal ibadah dilipat gandakan pahalanya dengan gandaan yang sangat banyak, diturunkan lailatul qadar, barangsiapa menemukannya dan beribadah padanya lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan (83 tahun), ibadah umrah pada bulan ini sebanding dengan pahala hajji, rahmat Allah, barakah dan maghfirahnya berlimpah ruah dan terakhir diturunkan Nya kitab-kitab suci. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah meriwayatkan dari Wa’ilah bin al-Asqo’ bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Lembaran-lembaran Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan setelah berlalu enam malam bulan Ramadhan, Injil diturunkan setelah berlalunya 13 malam bulan Ramadhan, dan al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad),
“Amalan ini bersifat perintah, yaitu bagi muslim yang melihat datangnya hilal Ramadhan (atau yang berada didaerahnya saat wilayah tersebut sudah diputuskan telah masuk bulan Ramadhan). Amalan ini juga memerlukan syarat adanya fisik yang sehat, karena Allah Ta’ala menerangkan tentang disediakannya waktu untuk mengqadha’. Namun sayangnya, kemudahan ini sering disalah-gunakan muslim yang masih dangkal ilmunya yang justru menukar amalan shaumnya dengan qodho’ dan fidyah tanpa udzur syar’i. Lisan mereka juga acapkali basah oleh gerutuan, “Puasa lagi…, puasa lagi…” papar ustadz Abu M. Jibriel seraya menirukan perkataan umat Islam yang enggan dalam menghadapi salah satu syari’at Islam dibulan Ramadhan yaitu shaum. Jama’ah yang hadir disiang pada Sya’ban ke-18 kemarin itu lalu mendapat penjelasan bahwa bagi muslim yang memenuhi kewajiban shaum Ramadhan, ada lagi tambahan kebahagiaan yaitu pengijabahan do’a oleh Allah Ta’ala. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:
“Bagi seorang yang berpuasa, maka saat berbukanya adalah saat diijabahnya do’a.” (HR. Abu Dawud) .Dan do’a yang shahih dari Rasulullah ketika berbuka puasa ialah:
“ALLAHUMMA INNI ASALUKA BIRAHMATIKA ALLATI WASIA’AT KULLA SYAI’IN AN TAGHFIRALI”
(Ya Allah aku mohon ampun kepadamu dengan rahmatmu yang meliputi segala sesuatu.) HR Ibnu Maajah 1/557
Dan setelah berbuka dengan beberapa biji kurma atau air, telah sah dari Ibnu Umar dia berkata, adalah selesai berbuka dia berdo’a:
“ZAHABADZ DZOMAAU WABTALLATU ‘URUUQU,WATSABATAL AJRU INSYA ALLAH”
(Telah hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah pasti pahala disi Allah) HR Abu Daud 2/306.
Sementara dalam musnad Imam Ahmad, Sunan at-Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah—dikatakan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ada tiga orang yang do’anya tidak akan ditolak, yaitu penguasa yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan permohonan orang yang dizhalimi. Allah akan menaikkan do’a itu pada hari kiamat tanpa penghalang dan akan dibukakan pintu-pintu langit bagi do’a itu serta Dia berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, sesungguhnya Aku akan menolongmu walaupun setelah waktunya berakhir.” (HR. Ahmad)
Beralih kepada kebiasaan yang acapkali terjadi pada masyarakat dan nyaris malah sudah dijadikan ‘syari’at’ yaitu pada masalah yang berkenaan dengan waktu sahur yaitu perkara imsak. Coba perhatikan, betapa sebagian kaum muslimin sangat memperhatikan hal ini dan mendawamkannya melalui berbagai media seperti televisi, koran, radio, juga brosur-brosur yang disebarkan secara serentak. Ketika ditanya mengapa bisa mengadakan waktu imsak yang sama-sekali tidak dikenal dimasa Rasulullah dan para sahabat itu, ada yang menyatakan bahwa itu ditujukan agar kaum muslimin yang bersahur saat itu bersegera menghentikan kegiatan makan dan minumnya karena khawatir melampaui waktu adzan subuh.
Namun pada prakteknya dan yang justru telah lazim diterapkan dalam masyarakat adalah mereka berhenti mengkonsumsi makanan dan minuman di kala imsak. Ada juga yang dalam keadaan terburu-buru lalu memuntahkan semua yang sedang dikonsumsi di mulutnya karena telah terdengar seruan adzan. Ini tentu sesuatu yang harus diluruskan dan menjadi kewajiban setiap kaum muslimin untuk menyampaikan risalah tersebut seperti yang sudah dijelaskan Rasulullah kepada Adi bin Hatim berikut:
“Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa benang putih dari benang hitam? Apa keduanya dari jenis benang?” Nabi bersabda, “Sebenarnya kamu hanya menerka-nerka saja bila kamu melihat dua benang.” Beliau melanjutkan, “Bukanlah demikian, namun yang dimaksud adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan sahabat tersebut berkenaan dengan firman Allah Ta’ala pada ayat ke-187 surat al-Baqarah, “… dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” sehingga dengan demikian disunnahkan kita untuk mengakhirkan bersahur. Dalam dua riwayat lain, dari Abu Dzar, Rasulullah bersabda, “Umatku akan selalu dalam keadaan sehat selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.” (HR. Ahmad)
Dan yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alaihi, dikatakan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, “Adzan Bilal tidaklah menghalangi waktu sahurmu karena ia adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena tidaklah ia beradzan kecuali ketika terbit fajar.” (HR. Bukhari-Muslim)
Aktivitas Ramadhan sebaiknya banyak dikhususkan kepada amaliah-amaliah yang sunnah sebagai ibadah nafilah ketimbang kegiatan yang lebih bersifat keduniawian semata, karena di bulan ini segala perkara sunnah seperti qiro’ah qur’an, bersedekah, dan beramar ma’ruf-nahi munkar mendapat janji Allah berupa pelipatan-ganda pahala. Hendaklah jangan terjebak dengan huru-hara sebagian kaum muslimin yang justru berhura-hura memuaskan nafsu belanja mereka yang tengah mengalami peningkatan karena tujuan kelirunya dalam menyambut Idul Fitri kelak. Demikian juga dari sisi penjual, mereka berlomba-lomba melipat-gandakan barang dagangannya agar bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya di ‘musim belanja’ tersebut. Otomatis menjadi berkuranglah bahkan hilanglah kesempatan emasnya untuk meningkatkan pundi-pundi pahalanya dari Allah Ta’ala.
Demikianlah, hiruk-pikuk Ramadhan terbukti telah banyak melalaikan kaum muslimin, perhatikan berapa banyak yang melewatkan sholat qiyamullail karena keletihan mengurusi dunia sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, berapa banyak kajian ilmu yang tak dihadiri sehingga ilmu yang dimiliki masih saja yang diwariskan oleh nenek moyang semata, atau betapa tragisnya mereka yang ‘terpaksa’ berbuka justru karena seharian berkeliling mal dengan hujjah ‘ngabuburit’…
Sebelum mengakhiri taushyahnya ustadz Abu Muhammad Jibriel menegaskan para hadirin agar memperhatikan salah satu kegiatan pokok disamping shiyamu ramadhan yaitu qiyaamu Ramadhan (qiyamul lail atau tahajjud). Seorang muslim seharusnya mengetahui fadhilah qiyamullail ini, sehingga dengan demikian ia menjadi amalan yang sangat dibutuhkan dan dinanti-nanti untuk diamalkan. Diantara keutamaannya adalah 1. mengangkat derajat seorang muslim ke tempat yang terpuji dan menumbuhkan kesabaran yang mendalam, 2. dapat menjadikan jiwa khusyu’ dan tenang apalagi disaat sedang menghadapi musibah, 3. menjadi salah satu jalan memasukannya ke jannah, 4. sebagai sarana mengundang pujian dari Allah Ta’ala, 5. sebagai jalan muroqobah ilallah dan penebus dosa-dosa, serta mengabulkan do’a-do’a hambaNya yang berdoa, 6. shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih dan obat segala penyakait, 7. shalat malam meningkatkan kemuliaan seorang mukmin, 8. dengan shalat malam mengundang kecintaan dan kasih saying Allah. Mari raih semua itu dengan dengan menegakkan qiyamu Ramadhan pinta belia.
Taushiyah siang itu nampak begitu berbeda dari biasanya karena tema yang diangkat membahas banyak tentang fiqih yaitu amaliah Ramadhan. Ini tentu saja penting karena termasuk dalam salah-satu perkara penegakan syari’at Islam yang sesungguhnya. Apalagi tampak masanya dimana sunnah sudah dianggap amaliah yang baru dan aneh, sedangkan bid’ah sudah dilazimkan menjadi sesuatu yang patut untuk dijunjung tinggi, lagi disejajarkan dengan sunnah Rasulullah.
Usaha dalam menyampaikan yang haq dan menghapuskan yang bathil, menjadi suatu pekerjaan yang meletihkan sekaligus berat untuk dipraktekkan. Rintangan ini pun menjadi ujian atau tantangan bagi setiap muslim yang berniat untuk meluruskannya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah. Tak jarang, karena usahanya menghidupkan sunnah–sebagian kaum muslimin yang tak paham akan ‘warisan’ Rasulullah pun mencapnya dengan gelaran; orang yang aneh atau amalan yang asing. Sementara Allah Ta’ala berfirman dalam surat Hud,
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan diantara mereka, dan orang-orang yang zhalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud, 11 : 116)
Benar, kaum Muslimin yang benar-benar mengikuti Sunnah, mereka dianggap asing, aneh atau gharib. Mereka terpisah dari kaumnya dan orang yang beristiqomah dalam ‘keasingan’ mereka, namun mereka tak jenuh dan tak lekang untuk setia pada da’wah yang haq. Keadaan orang-orang seperti inilah yang sudah diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya,
“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang dianggap asing itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Yaitu orang-orang yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits lain disebutkan,
“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing” Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.”
Ghuraba’ atau orang-orang yang dianggap asing (dalam perkara dien) ini hidup dalam zaman yang tengah diproses oleh penggila untuk menjadi ‘pasar bebas’ dalam setiap lininya. Namun apapun perkara dunia yang sedang dikerjakan kaum kafir yang tengah merajai dunia tersebut -mereka takkan lepas dari satu tujuan yaitu melenyapkan dien Islam dengan jalan berusaha mengobrak-abrik kaum muslimin.
Di akhir tausyiahnya, ustadz Abu M. Jibriel kembali mengajak untuk menyambut Ramadhan dengan berbekal taqwa, lalu melaksanakannya dengan ikhlas dan ittiba’ussunati Rasulillahi SAW. “Mari kita songsong bulan penuh berkah ini lalu mengisinya dengan memperbanyak qiro’ah qur’an, qiyamulail, dan i’tiqaf. Mari hidupkan Ramadhan dengan hadir dimajelis-majelis ilmu lalu fastabiqul khairat dengan mengamalkan dan menda’wahkannya. Seperti yang telah Allah firmankan bahwa tujuan diwajibkannya bershaum adalah agar hamba-Nya bertaqwa, maka mari laksanakan perintah tersebut sesuai dengan yang disyari’atkan-Nya sehingga kita bisa benar-benar termasuk ke dalam golongan al-muttaquun, insya Allah.”
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’am, 6 : 153)
Marhaban, ya syahrul mubarok… (Ghomidiyah/arrahmah.com)