JAKARTA (Arrahmah.com) – Persidangan terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang difitnah oleh thogut kembali digelar kemarin (11/4/2011). Agenda persidangan saat ini menghadirkan para saksi ahli. Dalam persidangan, Ustadz Abu meluruskan pendapat para pakar yang menuduh DI/TII sebagai gerakan teror. Pernyataan Ba’asyir disampaikan untuk meluruskan pendapat saksi Ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum dan dibacakan ringkasannya oleh hakim Ketua Herri Swantoro.
“DI/TII itu bukan gerakan teror, tetapi gerakan yang mengembangkan Islam dimasyarakat” ujar Ba’asyir di PN Jakarta selatan, Jl.Ampera Raya, Senin (11/4).
Ustad Abu berpendapat, apa yang dicita-cita DI/TII merupakan hal yang baik, bukan terorisme. Baginya, mendirikan Negara Islam bukanlah teror.
“Mendirikan Negara Islam bukanlah teror, itu yang harus kita ketahui,” tegas Amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) ini.
Sebelumnya psikolog UI yang dihadirkan JPU sebagai saksi ahli menuduh Permesta, DI/TII yang ingin menegakkan negara Islam, serta Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok yang mengembangkan teror di Indonesia.
Sampai hari ini, Ba’asyir masih tidak mau menghadiri kesaksian, Ia hanya menghadiri pada awal dan akhir persidangan. Ba’asyir menghadiri persidangan dengan agenda mendengarkan saksi ahli, hanya pada Rabu lalu (6/4), ketika JPU menghadirkan saksi ahli bidang agama.
Sementara itu, menilai saksi ahli bidang agama yang dihadirkan oleh tim jaksa Penuntut Umum tidak membidangi materi persoalan, ustad Abubakar Ba’asyir beserta kuasa hukumnya merencanakan menghadirkan saksi ahli yang akan meluruskan persoalan i’dad atau mempersiapkan kekuatan senjata.
“Kita akan hadirkan saksi ahli dari majelis ulama di Surakarta, untuk meluruskan dan menjelaskan yang terkait dengan pelaksanaan i’dad,” jelas Achmad Michdan, kuasa hukum Ustad Abubakar Ba’asyir.
Menurutnya kembali, saksi ahli yang dihadirkan JPU bukan membidangi persoalan i’dad, sehingga seringkali sulit untuk ditanya ketegasannya dalam menilai pelatihan militer di Aceh terkait kesesuaian dengan ajaran Islam.
“Saksi ahli yang dihadirkan, membidangi rujuk talak dan makanan halal, dia tidak kompeten dalam hal ini,” kata Michdan.
Achmad Michdan juga menegaskan bahwa keterangan saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum di luar disiplin ilmu psikologi, maka harus diabaikan.
“Pernyataan ahli bahwa pelatihan itu sebagai teror sudah melampaui kewenangan disiplin ilmunya. Saya kira kesaksian ini adalah kesaksian yang harus diabaikan,” cetus kuasa Hukum ustad Abubakar Ba’asyir, Achmad Michdan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta, Senin (11/4).
Menurut Michdan, saksi ahli mestinya melakukan diagnosis terlebih dahulu terhadap masyarakat yang dianggap terteror. Pemeriksaan itu juga mesti dilakukan secara langsung.
“Harus ada pemeriksaan terlebih dahulu orang per orang, baru bisa dikatakan konkrit datanya,” imbuhnya.
Michdan menyatakan, analisa saksi ahli tidak tepat, karena psikologi seharusnya memeriksa orang per orang, sedangkan peristiwa pelatihan jauh dari masyarakat sehingga tak mungkin menimbulkan rasa takut.
“Pelatihannya saja di hutan, jauh dari masyarakat, bagaimaa bisa dinilai sebagai teror,” tukasnya.
“Padahal semua saksi yang dihadirkan menyatakan pelatihan di Aceh hanyalah I’dad (persiapan),” kata Tim Pembela Muslim ini persidangan ini.
Sebelumnya, Saksi Ahli, Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog yang dihadirkan tim jaksa Penuntut Umum menerangkan bahwa pelatihan militer oleh sekelompok orang di pegunungan Jalin Jantho Aceh Besar pada awal tahun 2010 dinilai sebagai kegiatan terorisme. Pasalnya, aktivitas itu, mulai dari pelatihan hingga penyergapan para pelaku oleh polisi di berbagai daerah, telah membuat masyarakat luas merasa takut.
Menurutnya juga, dari segi hukum, pelatihan militer di Aceh tak dapat disebut terorisme. Menurut dia, para peserta pelatihan hanya dapat dikenakan UU Darurat mengenai kepemilikan senjata api.
Dari segi agama, kata Michdan, pelatihan militer di Aceh itu adalah i’dad (mempersiapkan kekuatan fisik dan senjata). “Semua saksi menyatakan, kegiatan pelatihan bersenjata di Aceh adalah i’dad yang ada di ajaran Islam. Itu bisa ditafsirkan bahwa umat Islam harus bersiap diri. Bukan untuk melakukan teror, tetapi untuk membela umat Islam yang akan dizalimi,” kata dia.
“Jadi, kalau pelatihan di Aceh dikatakan teror, salah kaprah,” tandasnya.
Sidang yang hanya dihadir kurang dari 10 orang pendukung Ustad Abubakar Ba’asyir, berlangsung singkat tidak seperti biasanya. Hal ini terjadi karena, JPU hanya menghadirkan 1 orang saksi Ahli. Sedangkan penjagaan di gedung pengadilan, masih sama seperti sebelumnya, sangat ketat dan didukung oleh ratusan aparat keamanan serta kendaraan lapis baja. (hidayatullah/arrahmah.com)