Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
(Arrahmah.com) – Dibanding Prabowo, elektabilitas Jokowi lebih tinggi. Setidaknya saat ini. Tapi, elektabilitas Jokowi terus turun. Posisinya di bawah 50%. Persisnya 47,9%. Itu survei Median. Relatif independen. Survei lain yang tak kalah kredibilitasnya menyebut elektabilitas Jokowi di bawah 40%.
Bagaimana dengan survei-survei yang sering pamer angka elektabilitas Jokowi di atas 50%? Sederhana cara menguji validitasnya. Pertama, dari pihak mana pelaku survei itu? Artinya, ini terkait dengan siapa yang membiayai, dan untuk tujuan apa. Anda masih percaya hasil survei yang dibiayai dan berkampanye untuk paslon?
Lembaga survei biasanya dikontrak untuk tiga tugas sekaligus yaitu melakukan survei, sebagai konsultan politik dan branding paslon (membentuk opini). All in dalam satu paket biaya. Bukan rahasia umum lagi. Untuk mendapatkan hasil survei yang diinginkan, lembaga survei biasanya menentukan lebih dulu respondennya dan bermain di quesioner.
Namun, setiap paslon dipastikan punya survei internal. Hasil survei internal tak akan dipublikasikan. Ini menyangkut dapur dimana timses mengolah strategi. Berarti, beda dengan servei yang dipublikasikan? Hampir selalu begitu. Ada survei asli, ada survei palsu. Yang asli disembunyikan. Yang palsu dibesarkan angkanya, lalu dipublikasikan. Dan tim buzzer bertugas menyebarkannya sebagai promosi.
Hasil survei yang dipublikasikan itu berfungsi memompa optimisme relawan, intimidasi psikologi lawan, serta menggoda pemilih yang belum menentukan pilihan.
Ingat survei Pilgub DKI, Jabar dan Jateng? Hasilnya sangat jauh selisihnya dari hasil survei. Anda tertipu? Salah sendiri! Kenapa percaya?
Kedua, jika elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di atas 50%, dan selisihnya dengan Prabowo-Sandi di atas 10% sebagaimana rilis beberapa lembaga survei itu, tim Jokowi tinggal tidur. Setidaknya lebih santai dan tenang, karena berada dalam situasi comfort zone. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Apa yang selama ini dilakukan oleh kubu Jokowi-Ma’ruf nampak sekali ada kegugupan dan kepanikan. Ini pertanda belum ada kenyamanan elektabilitas.
Indikator bahwa Jokowi-Ma’ruf belum merasa aman bisa dilihat pertama, Jokowi banyak melakukan terobosan-terobosan kampanye yang berbahaya. High risk. Ini menunjukkan situasi tidak aman.
Sikap menolak menyampaikan visi-misi, minta bocoran soal debat, “membiarkan” (ini bahasa satirnya) aparat hukum dan aparatur negara berkampanye, memajukan schedule pembagian bansos, dan yang terkini adalah membebaskan Abu Bakar Ba’asyir tanpa syarat. Ini semua model kampanye berisiko.
Khusus terkait pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, Jokowi terjebak. Maksud hati ingin menarik simpati Umat Islam, tapi kalangan muslim moderat protes. Khususnya warga NU. Jokowi dianggap pro terorisme dan radikalisme. Timses Jokowi juga protes. Yusril, petugas Jokowi khusus untuk kasus Ba’asyir, dianggap melangkah tanpa kordinasi.
Setelah diberikan surat resmi pembebasan, Abu Bakar Ba’asyir menyatakan tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Nah, blunder.
Smentara para pendukung Jokowi meng-aku paling pancasilais, tapi Jokowi membebaskan orang yang tak mau mengakui pancasila. Inilah yang dibilang Wiranto, presiden grusa-grusu.
Kata-kata Menkopolhukam ini pedas dan memanaskan telinga. Selama ini gak ada satupun menteri, apalagi pejabat di bawah menteri, yang berani kritik Jokowi. Apalagi dengan kata-kata yang pedas. Ada apa denganmu Pak Wiranto?
Jika akhir-akhir ini beredar secara masif tabloid Al-Barakah di masjid-masjid yang isinya jelek-jelekin Prabowo, itu pasti kampanye. Bahasa politiknya, black campign. Kampanye hitam. Tapi, kampanye model begini sangat berisiko. Melanggar? Pasti.
Publik bertanya: kira-kira dari pihak mana tabloid itu berasal? Publik pasti sudah bisa menebaknya. Untuk menebak ini, gak perlu kuliah sampai S3 dan bergelar doktor seperti Ngabalin. Hanya butuh akal sehat saja.
Intinya, jika elektabilitas Jokowi di atas 50% seperti olahan promosi lembaga-lembaga survei itu, maka model kampanye Jokowi akan lebih soft dan pilih strategi yang aman. Cukup jualan prestasi dan hasil kerja saja.
Faktanya? Tidak.
Karena prestasi dan hasil kerja Jokowi dianggap tak signifikan dan banyak masalah. Kurang laku sebagai jualan kampanye. Inilah yang membuat Ma’ruf Amin berang. Mengeluarkan fatwa “tuli, buta dan ngelindur” kepada rakyat yang kecewa terhadap kinerja Jokowi. Dan Ma’ruf tak perlu menggunakan bahasa “sehalus dan sesopan itu” jika elektabilitasnya aman.
Keguguban kubu Jokowi-Ma’ruf mengakibatkan pilihan strateginya seringkali tak tepat. Alih-alih mengangkat elektabilitas, tapi justru menggerusnya. Jokowi-Ma’ruf dengan semua timsesnya selama ini sudah bekerja keras. Kekuatan logistik dan akses kekuasaan masif digunakan, tapi elektabilitas terus turun.
Apa yang membuatnya turun?
Pertama, langkah politiknya seringkali blunder. Senang melakukan manuver yang tak perlu, tapi berisiko. Bernegosiasi dengan KPU, kampanye vulgar dari aparatur negara, selfie-selfie dan segala pencitraan yang tak penting.
Jokowi-Ma’ruf tak pernah menyadari bahwa sekarang era medsos. Semua peristiwa, mudah dipotret dan diviralkan. Dan tak bisa dihadapi dengan jurus “hoak dan fitnah”. Kedua, kerja lapangan Prabowo, terutama Sandi serius dan masif.
Ada sejumlah faktor yang di beberapa bulan terakhir diprediksi akan betul-betul semakin mengancam elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.
Pertama, mesin Umat di bawah Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir. Sementara ini, mereka relatif belum bergerak. Baru mulai meresmikan posko-posko di setiap kabupaten/kota.
Kedua, gerilya SBY di lapangan. Presiden dua periode ini cukup punya pengalaman dan simpatisan. SBY akan all out mengingat nasib AHY, putera mahkota akan sangat ditentukan karirnya di pilpres 2019.
Ketiga, mesin PKS. Biasanya kader PKS bergerak masif jelang pencoblosan.
Keempat, logistik. Dana yang cekak membuat Prabowo-Sandi akan jor-joran di akhir. 10 ribu rupiah logistik Prabowo-Sandi akan lebih efektif dibanding 1 juta rupiah logistik Jokowi-Ma’ruf. Prabowo-Sandi unggul di tingkat militansi pendukung.
Kelima, debat. Jika Prabowo-Sandi mampu membongkar janji kampanye Jokowi di 2014 dengan data-data akurat, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf akan makin terancam.
Sementara, dari kubu Jokowi-Ma’ruf terus aktif memproduksi blunder. Semakin turun elektabilitasnya, akan membuat semakin panik. Makin panik, buat blunder lagi. jika tak dikendalikan, akan jadi satanic circle, lingkaran setan. Inilah yang membuat elektabilitas Jokowi-Ma’ruf terus turun.
Jakarta, 23/1/2019
(*/arrahmah.com)