BEKASI (Arrahmah.com) – Kota Manokwari saat ini menjadi perhatian umat Islam nusantara. Kota yang terletak di bagian kepala burung pulau paling timur Indonesia (Papua) itu menjadi pusat perhatian. Pasalnya, di kota itu akan diterapkan peraturan daerah yang berbasis pada Injil.
Bermula sekitar bulan Februari 2006, ketika Pemerintah Kabupaten dan DPRD Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ‘Kota Injil’. Namun perkembangan Raperda tersebut, hingga kini masih belum jelas.
Adanya Raperda tersebut, mendapat respon yang beragam dari berbagai kalangan. Selain dinilai berpotensi merugikan salah satu kelompok agama tertentu, juga berpotensi menimbulkan konflik yang berbau SARA.
Untuk memuluskan pengesahan Perda Injil Manokwari, sebanyak 13 anggota DPRD Kabupaten Manokwari mengadakan studi banding di Aceh pada 27 Desember 2009. Dalam studi banding tersebut, DPRD Aceh berharap bila Perda Manokwari Kota Injil diberlakukan maka tidak boleh menghambat kerukunan beragama.
Pada periode 2009-2014 sekarang, dari 13 anggota DPRD itu hanya dua orang saja yang masih menjadi anggota DPRD. Kini, nasib Raperda Manokwari Kota Injil masih di tangan DPRD periode 2009-2014 itu.
Raperda Kota Injil dan Rencana Pembangunan Masjid Raya dan Islamic Centre Papua
Alasan yang sangat populer munculnya Raperda Kota Injil ini sebagai pengakuan terhadap sejarah bahwa Manokwari sebagai pintu bagi penyebaran Kristen di tanah Papua. Pada tangal 5 Februari 1855, dua misionaris Jerman, Carl Ottow dan Johan Gottleib Geissler (dikenal sebagai Rasul di Papua), tiba di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari, dan menegaskan kawasan ini sebagai tanah suci. Sejak itu, Manokwari dikenal secara tak resmi sebagai “Kota Injil”, dan dalam tahun-tahun belakangan diadakan perayaan untuk memperingati peristiwa itu setiap tanggal 5 Februari. Dengan terbitnya Perda Kota Injil diharapkan tidak hanya masyarakat yang mengakui kekudusan kota Manokwari, namun juga pemerintah. Untuk selanjutnya ada konsuekensi-konsuekensi: menjadikan ajaran-ajaran Injil sebagai dasar-dasar kebijakan pemerintah.
Di balik alasan klasik tersebut, ada pertanyaan yang sangat menggelitik, mengapa tuntutan itu baru muncul pada awal tahun 2006? Apabila masyarakat Kristen di tanah Papua telah memberikan pengakuan Manokwari sebagai Kota Injil mengapa perlu ada pengesahan dari pemerintah? Benarkah alasan dari tuntutan itu hanya dari faktor sejarah? Inti dari pertanyaan di atas terletak pada, pengesahan itu dituntut pada lembaga politik, mengapa sejatinya tuntutan tersebut tidak bisa lepas dari pertimbangan politik pula.
Ada yang berpendapat bahwa alasan Raperda Kota Injil tidak merujuk pada peristiwa pada abad ke-19: masuknya Injil ke tanah Papua pada tahun 1855, namun pada peristiwa di abad ke-21 ini tepatnya tahun 2005, yaitu rencana pembangunan masjid raya dan Islamic Centre di Manokwari.
Konon luas area Islam Centre tersebut sampai empat hektar dan akan menjadi Islamic Centre terbesar di Asia Tenggara. Lokasinya juga menjadi sumber penolakan umat Kristen di Manokwari yang berada di dekat Bandara: setiap orang yang baru tiba di Manokwari dari atas pesawat akan melihat kubah masjid, bukan bangunan gereja. Sehingga citra Manokwari sebagai Kota Injil akan berubah menjadi Kota Muslim.
Rencana pembangunan Islamic Centre tersebut diakui oleh seorang tokoh Muslim Manokwari yang tidak mau dikutip namanya. Menurutnya, masjid raya dibutuhkan di Manokwari sebagai ibu kota provinsi Papua Barat dan di setiap ibu kota provinsi pasti ada masjid raya. Sedangkan kompleks Islamic Centre akan menjadi kantor-kantor dari ormas-ormas Islam yang ada di Manokwari, dan tidak hanya itu saja, di Islamic Centre akan dibangun fasilitas umum: rumah sakit, pelayanan sosial yang tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh umat muslim saja, namun oleh umat non-muslim. Bagi tokoh ini, isu yang selama ini berkembang di Manokwari terlalu dilebih-lebihkan dan merupakan kekhawatiran yang tidak memiliki dasar. “Tidak ada niat umat Islam ingin menjadikan Manokwari sebagai kota Islam,” katanya.
Buktinya, gereja di Manokwari sangat banyak dan besar-besar, tidak mungkin bangunan masjid raya di sini akan mengubah citra Kota Manokwari, dan hal yang lumrah kalau Manokwari sebagai kota provinsi memiliki masjid raya, karena hingga saat ini Manokwari tidak memiliki masjid untuk ukuran masjid raya.
Pendapat tokoh Muslim Manokwari tersebut diaminkan oleh Haji Udin, tokoh masyarakat muslim di sana dan anggota DPRD dari Partai Bulan Bintang (PBB). Menurutnya, penolakan terhadap rencana pembangunan masjid itu sebenarnya menyakitkan hati umat Islam, namun dia tetap ingin terus membuka dialog dan pertemuan dengan tokoh-tokoh Kristen untuk menyampaikan informasi yang benar tentang rencana pembangunan masjid raya. Dan semangat umat Islam di Manokwari untuk membangun sebuah masjid raya tidak pernah luntur, namun masalahnya adalah bagaimana proses tersebut tidak memancing konflik. “Kami sangat berkepentingan menjaga keamanan di kota ini, karena kalau terjadi konflik umat Islam lah yang akan pertama kali menjadi korban,” katanya.
Umat Islam siap berjihad
Meski Perda Kota Injil ini masih dalam rancangan dan belum juga disahkan, jauh-jauh hari Ustadz Abu Bakar Ba’ayir sudah memberikan peringatan agar tidak ada kezaliman mayoritas terhadap minoritas di Papua. Amir Jama’ah Anshorut Tauhid ini bahkan bertekad akan mengirimkan laskar mujahidin ke Papua bila umat Islam dizalimi di Papua. Hal itu disampaikan di hadapan ribuan jamaah pengajian di Masjid Ramadhan Bekasi, Ahad (3/01).
“Kalau nanti (Manokwari) sudah jadi kota Injil, orang dilarang berjilbab, dilarang azan, dilarang bikin masjid, umat Islam harus menentang itu. Kalau itu betul-betul terjadi, saya berpendapat mengirimkan mujahidin ke sana, seperti Poso kemarin!”
Ustad sepuh ini beralasan bahwa pelarangan hak asasi umat Islam berarti menantang umat Islam.
“Kalau azan dilarang, shalat dilarang, itu mengajak perang namanya. Kalau mampu, lawan itu. Kalau tidak mampu sabar saja. Kita mampu melawan di Manokwari, kita datang ke sana, kita perangi mereka. Karena itu berarti mengumumkan perang melawan Islam,” tegasnya.
“Kalau pemerintah tidak mampu melawan, kita yang akan datang ke sana untuk melawan,” pungkasnya. (muslimdaily/voa-islam/arrahmah.com)