JAKARTA (Arrahmah.com) – “Sepenting-penting perkara dalam kehidupan seorang muslim adalah urusan tauhid dan syari’ah.” tegas Ustadz Abu M. Jibriel AR saat ditanya announcer Radio Silaturahim (RASIL), Angga Aminudin, pada rabu (14/3) berkaitan dengan argumen yang memunculkan sikap syari’at-phobia dalam masyarakat dunia saat ini terutama masyarakat muslim di Indonesia.
Selanjutnya beliau menambahkan, “Islam datang untuk mentauhidkan umat manusia dan menegakkan syari’ah diatas tauhid yang benar. Kehidupannya akan berjalan timpang apabila syari’at Islam tidak ditegakkan di bumi tempat tinggalnya, karena syari’at Islam diturunkan Allah Ta’ala, Penguasa dan Pengurus seluruh makhluk , ialah untuk terciptanya sebuah kemaslahatan dalam masa hidup di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Apabila syariat tidak ditegakkan maka masyarakat akan menjadi amburadul seperti yang kita saksikan saat ini.”
Wakil amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang beberapa pekan terakhir namanya telah dimasukkan ke dalam daftar calon presiden syari’ah oleh Forum Umat Islam yang diketuai oleh M. Al-Khatthath itupun menyebutkan firman Allah Ta’ala dalam surat al-An’am ayat ke-153, yang artinya:
“Perintah dan larangan ini adalah syari’at-Ku yang benar. Wahai manusia, ikutilah syari’at-Ku itu. Janganlah kalian mengikuti tatanan-tatanan hidup yang lain, karena tatanan-tatanan hidup yang lain itu pasti akan menjauhkan kalian dari syari’at-Nya. Demikianlah Tuhan mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian taat kepada Allah dan bertauhid.”
Dari ayat tersebut, umat Islam tidak diperkenankan mengikuti satu jalan hidup pun, kecuali syari’at Islam. Hal itu tentu saja bertolak-belakang dengan kelompok liberal yang selalu mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga menyalahkan apa-apa yang bertentangan dengan akal dan hawa-nafsunya.
Satu contoh pertentangan mereka adalah dengan mengatakan bahwa sepertiga isi al-Qur’an harus direvisi karena menurutnya kandungan ayat yang diturunkan Allah Ta’ala tersebut telah melanggar HAM dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Berikut pula dengan ayat yang menyatakan bahwa sesungguhnya hanya Islamlah agama yang lurus, kelompok yang seharusnya disebut JIL (Jaringan Iblis Liberal) itu memiliki persepsi yang nyeleneh dengan berpendapat bahwa ketetapan Allah Ta’ala tersebut malah akan menimbulkan perpecahan karena hanya menganggap agamanya saja yang benar sementara aliran kepercayaan-kepercayaan lainnya yang telah diakui oleh negara adalah salah.
Oleh karena itu panji-panji liberalisme dimunculkan ke tengah-tengah umat Islam adalah memang untuk menggerogoti Islam dari dalam, apalagi dengan pernyataan-pernyataan mereka yang sering ‘sok tahu’ dalam keilmuwan Islam.
Talkshow bertema ‘Syari’at Islam Versus Liberal’ yang berlangsung mulai pukul 10.45 wib itu, juga menghadirkan nara-sumber lain, seperti Ustadz M. Al-Khatthat (Sekjen FUI), dr. Joserizal Jurnalis (ketua presidium MER-C), serta Prof. Dr. Geis Khalifah (manajer humas RASIL). Acara yang mengudara on-air itu dihadirkan untuk memberikan wacana baru dalam kancah pemerintahan di Indonesia yang bila boleh sudah dikatakan tengah collaps ini. Ustadz M. Al-Khattath menyebutkan di beberapa kesempatan bahwa wacana mengenai capres syari’ah ini tidak main-main.
Pengalaman beberapa tahun dalam ajang PEMILU presiden di Indonesia, bursa calon yang ditampilkan selalu dari kelompok yang sama-sekali tidak berpihak membela Islam padahal muslim di negara ini adalah mayoritas. Bahwa sudah saatnya muslim itu dipimpin oleh muslim yang ‘alim. “Orang Indonesia memang punya sifat lupa, yaitu lupa kalau dari dulu selalu dizalimi penguasa dan bekingannya. Dari pengalaman selama itu, tiap kali PEMILU, cuma modal coblas-coblos doang, nggak dipikir dulu: Kenapa dan apa akibatnya kalau nyoblos si A atau si B?” seloroh pemimpin umum tabloid Suara Islam itu seraya mengingatkan.
Saat disodorkan pertanyaan tentang kemungkinan Indonesia menerapkan pemberlakuan hukum syari’at, ia menjawab: sangat-sangat mungkin! Patut diingat, bahwa sejarah juga pernah mencatat para sultan yang berkuasa mempraktekkan hukum syari’at sebelum bercokolnya Belanda di tanah-air. Baru setelah kedatangannyalah hukum-hukum Islam direduksi, seperti hukum mengenai politik dihapus lalu diganti oleh sistem politik Belanda, perekonomian Islam dirubah menjadi sistem kapitalisme, hukum pidana Islam dialihkan menjadi KUHP (hingga sekarang), dan seabreg campur-tangan mereka lainnya.
Dibanding dengan keadaan saat ini dimana orang pintar dan cerdas sudah banyak di Indonesia, juga kesempatan untuk mengakses berbagai media yang berhubungan dengan ke-Islaman, seperti ketersediaan program-program software Islami, beragam ajang pagelaran buku-buku Islam, dan lainnya. Semuanya itu dapat menjadi salah-satu penghantar semakin memahaminya umat muslim akan pentingnya pemberlakuan syari’at, insya Allah.
Selanjutnya, sudut-pandang yang sedikit berbeda tentang syari’at islam, disampaikan dr. joserizal. Laki-laki yang acapkali mondar-mandir mengurusi masalah kesehatan masyarakat sipil di negara-negara yang tengah dilanda konflik itu, sejenak menceritakan pengalamannya tentang kondisi negara-negara yang mempraktekkan hukum Allah. Diantaranya Afghanistan, disana jarang ditemui asykar atau polisi yang patroli di jalan-jalan (pada situasi kriminal biasa, bukan konteks terhadap penjajah), ketika ada masalah, barulah para petugas keamanan itu hadir. Hal itu dikarenakan tingkat keamanan yang stabil sebab masyarakat paham akan sanksi-sanksi syari’at yang diancamkan.
Lain lagi dengan pengalamannya di Iran, disana seorang wanita yang ‘terpaksa’ bekerja pada malam hari akan tetap merasa terjamin keamanannya karena adanya hukum syari’at tersebut. Begitu pula situasi yang didapatinya di Pattani (Thailand), daerah muslim Mindanao (Philipina), Arab-Saudi, dan negara semisalnya. “Mudah-mudahan Indonesia dapat mengambil ibroh dari rasa aman yang akan tercipta apabila juga menerapkan sistem hukum Islam seperti negara-negara yang telah mendahuluinya.” Ujarnya dengan mantap.
Geis Chalifah menambahkan tentang pergerakan kelompok JIL yang sudah semakin membabi-buta dalam upayanya menyerang pola-pikir umat Islam yang mereka anggap kaku dan kuno. Mereka tengah mati-matian agar muslim dengan sifat keta’atannya akan dien-nya hanya berlaku di saat inbox atau di tengah kelompoknya saja, tapi apabila sudah membaur kepada masyarakat umum, terlebih yang ada kaitannya dengan urusan kekuasaan dan pemerintahan—maka umat Islam harus mampu berkolaborasi dengan sistem lain untuk tujuan bersama.
Sebetulnya sudah ada tiga tahap yang kita lalui dalam menyikapi pergerakan mereka, terutama tentang cara penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Pertama, ketika berhadapan dengan pernyataan kaum JIL yang mengkritik pola prilaku umat Islam yang menganggap hanya golongannya yang benar dan mengatakan itu sama saja dengan penindasan terhadap kaum minoritas, di tahap ini kita masih bisa untuk berdialog. Tahapan kedua, ketika mereka menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an seharusnya bersifat kontekstual dengan keadaan dan bukan letterlijk –pada tahap ini umat Islam pun masih bisa satu meja untuk ‘berdiskusi’. Tapi pada tahapan ketiga, mereka sudah jelas-jelas mengatakan bahwa sepertiga isi al-Qur’an tidak bisa dipakai lagi di masa sekarang, saat itulah kita tidak bisa lagi untuk mengadakan diskusi karena mereka telah menghujat keyakinan sebuah dien (Islam).
“Selain itu konflik-konflik yang timbul yang ada kaitannya dengan mereka, itu memang sengaja diciptakan. Tujuannya ya agar masing-masing kelompok Islam saling bertikai, lalu mereka akan bebas mencaplok kekuasaan karena umat Islam yang sedang mencoba bangkit akan senantiasa jatuh-bangun dalam menggalang persatuannya. Coba amati usaha mereka dalam membubarkan FPI, mereka takkan kan se-keukeuh itu(untuk menghilangkan pamor FPI) bila kelompok yang tegas ketika ber-nahyi-munkar itu tidak mengusung syari’at Islam dalam agenda kerjanya plus memperjuangkannya untuk menjadikannya dasar undang-undang.”
Selanjutnya ustadz Abu Jibriel kembali menjelaskan bahwa sebenarnya kaum liberal beserta isme-isme yang lain seharusnya tidak bercokol di Indonesia karena apabila kita mau kembali untuk mencermati bahwa dasar perundang-undangan adalah ketuhanan Yang Maha Esa, maka itu merupakan sebuah isyarat nyata bahwa negara ini diawali dan didirikan dengan berlandaskan Tuhan Yang satu, yaitu Allah Ta’ala. Bukan tuhan yang tiga terlebih lagi atas dasar isme-isme hawa-nafsu semata. Apalagi Islam sama-sekali tidak mentolelir adanya sistem lain, seperti demokrasi yang sangat dielu-elukan kaum kafir, kaum fasik, dan kaum munafik.
Oleh karena itu kita harus menuntut kepada pemerintah untuk mengenyahkan liberalisme dari bumi NKRI. Patut dicamkan bahwa yang memperjuangkan syari’at Islam adalah muslim yang sesungguhnya. Hanya orang-orang yang kafir dan tidak paham Islam-lah yang menolak hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan di surat an-Nisa’ ayat ke-65 yang artinya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Sebab itu apabila mereka memang muslim, tentu mereka mudah untuk mengerti kewajiban menegakkan syari’at ini, tapi mereka memang sungguh kaum kafir, sehingga yang muncul dalam dirinya adalah bagaimana untuk bisa mengganjal kaum muslim dalam jihad fi sabilillahnya. Ini tentu saja sangat membahayakan dirinya sendiri; apabila dia tetap kafir dengan menolak adanya hukum Allah Ta’ala hingga kematiannya maka terjerumuslah kekal dalam an-naar.
Menutup perbincangan yang berlangsung sekitar 90 menitan tersebut, ustadz Abu Jibriel memberikan statement bahwa dengan syari’at, Indonesia akan makmur, sejahtera dunia-akhirat. Oleh karena wajib bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dari kalangan penguasa maupun sipil bersama-sama menempuh jalan untuk memperbaiki negara yang sarat akan masalah-masalah yang bisa mengundang azab Allah karena keberpalingannya dari keta’atannya kepada Penguasa semesta alam. “Kepada bapak kepala negara beserta jajarannya, mari bersegera kembali kepada Allah Ta’ala. Insya Allah, bangsa Indonesia akan keluar dari keterjajahan, terutama keterjajahan aqidah oleh umat yang dimurkai Allah.“
Program Dunia Islam pun berakhir dengan kembali mengumumkan undangan terbuka kepada seluruh umat muslim untuk kembali mengikuti apel siaga AKSI SEJUTA UMAT yang akan diselenggarakan pada jum’at (30/3) pukul 13.30 wib bertempat di bundaran HI lalu long-march menuju istana negara Jakarta. Selain itu FUI juga membuka kesempatan bagi umat muslim yang siap menjadi relawan dalam penggalangan relawan capres syari’ah dengan melakukan registrasi melalui pesan singkat (SMS) berformat: nama/ikhwan atau akhwat/domisili/relawan CS, lalu kirim ke nomor 0817441801. Andakah yang siap mendaftar???
(Ghomidiyah/ukasyah/arrahmah.com)