(Arrahmah.com) – Upah untuk panitia qurban tidak boleh diambilkan dari hasil hewan qurban yang disembelih. Berikut uraiannya:
Apakah amil qurban berhak mendapat jatah khusus…? Jk boleh, maks. berapa?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kesalahan dalam definisi, bisa menyebabkan kesalahan dalam amal. Karena itulah, bagian dari adab dalam belajar, ketika kita menemukan suatu istilah, kita harus mengembalikan definisi itu kepada pejelasan sesuai ruang lingkupnya.
Sebagai contoh, istilah amil. Istilah ini Allah sebutkan dalam al-Quran, ketika Allah membahas masalah zakat. Untuk itu, ketika kita hendak memahami istilah amil, kita kembalikan definisi istilah ini dalam kajian fiqh zakat. Agar kita tidak membuat definisi sendiri yang tidak didukung referensi.
Mengenai definisi amil zakat, As-Syaukani mengatakan,
“والعاملين عليها”: أي السعاة والجباة الذين يبعثهم الإمام لتحصيل الزكاة
‘Amil zakat’ adalah petugas yang diutus oleh pemimpin (imam) untuk menarik zakat. (Fathul Qadir, 2/531)
Berdasarkan definisi di atas, istilah amil hanya berlaku untuk pengelolaan zakat. Sementara qurban, tidak ada istilah amil.
Lalu posisi panitia qurban sebagai apa?
Ketika sohibul qurban menyerahkan uang untuk dibelikan hewan qurban atau menyerahkan hewan qurban ke panitia, akad yang terjadi adalah akad wakalah. Dimana panitia diberi amanah untuk menangani hewan qurban milik sohibul qurban. Selanjutnya, panitia menjadi wakil bagi sohibul qurban.
Apakah panitia boleh meminta upah?
Panitia boleh meminta upah dari pemilik hewan, atas jasanya menangani hewan qurban. Karena wakil, boleh mendapatkan upah untuk tugas yang diwakilkan kepadanya (wakalah bil ujrah).
Hanya saja, ada persyaratan yang harus dipenuhi,
[1] Upah untuk panitia, tidak boleh diambilkan dari hasil qurban.
Jika upahnya diambilkan dari hasil qurban, berarti sohibul qurban mendapatkan sebagian manfaat berupa keuntungan secara finansial, dan ini tidak diperbolehkan.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menangani onta kurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).
Karena itu, upah diberikan dari uang pribadi sohibul qurban, di luar harga hewan qurban.
[2] Upah nilainya harus tertentu, jelas di depan
Misal, untuk pengelolaan seekor kambing upahnya 100rb. insyaaAllah praktek di masyarakat kita benar.
Hanya bagian ini yang menjadi hak panitia. Karena itu, mereka tidak boleh meminta jatah daging khusus sebagai tambahan upah. Tidak ada istilah jatah amil, karena panitia bukan amil.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
(azm/arrahmah.com)