JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebagai penetrasi dan sanksi sosial, istilah yang dipakai untuk pelaku pelacuran (prostitusi) dikembalikan saja pada istilah lama.
“Yaitu wanita tuna susila (WTS, red), bukan pekerja seks komersial (PSK). Hal ini untuk memberikan sanksi sosial untuk pelaku prostitusi,” kata Sekjen Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, Rozaq Asyhari, dalam keterangannya seperti dikutip RMOL.CO, Selasa (12/5/2015).
Pernyataan Rozaq ini terkait dengan prostitusi yang semakin marak, bahkan sekarang sudah melalui sistem online. Rozaq juga menjelaskan bahwa persoalan prostitusi tidak diatur dalam delik-delik kesusilaan dalam KUHP. Dan bila dilihat pada pasal 281 sampai pasal 303, khususnya pasal 296 dan pasal 506 tidak ditujukan untuk pelaku prostitusi.
Rozaq pun mendesak DPR agar memasukkan persoalan prostitusi dalam RUU KUHP sebagai bagian dari pidana.
“Bayangkan saja, kalau satu germo saja punya 200-an anak buah. Bila masing-masing sehari bisa menerima 3-5 lelaki hidung belang, bisa sampai seribu pelanggannya dalam sehari. Itu hanya satu jaringan saja,” tegas Rozaq. (azm/arrahmah.com)