JEDDAH (Arrahmah.com) — Menindaklanjuti proyek besar Saudi 2030, kerajaan Arab Saudi semakin membuka membuka diri terhadap dunia. Setelah empat tahun lalu mencabut larangan bioskop, negara ini dijadwalkan akan menjadi tuan rumah festival film besar pertamanya mulai Senin (6/12/2021).
Selama 10 hari ke depan, aktor dan sutradara akan menginjak karpet merah di Festival Film Internasional Laut Merah (Red Sea International Film Festival) di Jeddah. Festival film ini akan menampilkan 138 film panjang dan pendek dari 67 negara dalam lebih dari 30 bahasa.
Di antaranya adalah “The Alleys” yang mendapat pujian kritis dari Jordan, disutradarai oleh Bassel Ghandour. Ada juga film-film non-Arab termasuk “Cyrano” dan “’83” karya Joe Wright, kisah tentang kemenangan Piala Dunia kriket India tahun 1983.
Festival ini juga diharapkan untuk menghormati Haifaa al-Mansour, sutradara wanita Saudi pertama, yang merekam “Wadjda” pada 2012, pemenang sejumlah penghargaan internasional. Festival ini dimulai sehari setelah Jeddah menjadi tuan rumah Formula One Grand Prix pertamanya.
“Pemikiran untuk menyelenggarakan festival film di Arab Saudi tidak terbayangkan hanya lima tahun yang lalu,” kata kritikus seni Mesir Mohamed Abdel Rahman, dikutip dari AFP (6/12).
Arab Saudi mulai melihat industri baru yang menguntungkan, salah satunya adalah industri film. Sebelumnya bioskop dilarang selama beberapa dekade hingga April 2018 di negara ini.
Festival ini juga membidik pasar yang berkembang untuk syuting dan menonton film di Arab Saudi.
Box office tahunan Arab Saudi bisa mencapai US$ 950 juta pada tahun 2030, menurut sebuah laporan oleh perusahaan akuntansi multinasional PwC. Diperkirakan populasi kerajaan yang diperkirakan hampir 40 juta dapat menyerap hingga 2.600 layar bioskop.
Sejak menjabat sebagai putra mahkota atau pemimpin de facto pada 2017 lalu, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) berhasil membuat Arab Saudi membuka diri terhadap dunia modern. Festival film ini termasuk dalam salah satunya.
Sebelumnya, industri film di Arab Saudi bekerja secara underground atau bawah tanah. Hal ini disampaikan sutradara Saudi Ahmed Al-Mulla yang telah menyelenggarakan Festival Film Saudi tahunan di kota timur Dammam sejak 2008.
“Sebelum bioskop dibuka kembali pada 2018, industri ini bekerja di bawah tanah,” katanya. “Tidak ada kemampuan untuk memfilmkan atau mendapatkan pembiayaan. Itu semua tergantung pada upaya individu.”
Pengamat industri, bagaimanapun, mengatakan sektor film Saudi masih kekurangan keahlian, serta investasi. Tetapi beberapa proyek besar sekarang menjadi kenyataan.
MBC Studios, cabang produksi raksasa media Arab milik Saudi, MBC Group, mulai online pada 2018 dengan anggaran besar. Saat ini sedang syuting film aksi “Desert Warrior” di wilayah Neom, juga di Laut Merah.
Namun Al-Mulla mengatakan ini bukan hanya soal anggaran yang besar, tetapi sinema membutuhkan standar kebebasan berekspresi yang tinggi… dari menampilkan perempuan hingga kebebasan membahas topik yang berbeda, katanya.
“Bioskop adalah kekuatan lunak yang dapat membuka jalan bagi keberhasilan perubahan sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung (di kerajaan),” katanya. “Bioskop bukan hanya seni tetapi perlu ditransformasikan menjadi budaya di Arab Saudi.”
Sementara itu sejumlah aturan mengejutkan memang dibuat Arab Saudi tahun ini. Negeri Raja Salman sebelumnya mengizinkan penggunaan bikini di sebuah pantai privat di dekat wilayah Kota Jeddah.
Tempat itu ialah Pure Beach. Ini adalah pantai yang terletak di King Abdullah Economic City, sekitar 125 kilometer dari kota internasional Jeddah.
Pantai ini memiliki taman terapung yang membentuk tulisan “Arab Saudi” dalam bahasa Inggris, jika dilihat dari atas. Untuk masuk ke sini, tiap orang harus mengeluarkan kocek 300 riyal Saudi atau sekitar Rp 1,1 juta (asumsi Rp 3,772/riyal), untuk menikmati musik dan tarian sekaligus bermain air. (hanoum/arrahmah.com)