Sebuah riset khusus yang dilakukan Organisasi Anak Dunia UNICEF (United Nations Children’s Fund) yang berkedudukan di Baghdad, Irak, menunjukkan bahwa realita kondisi di Irak akibat agresi Amerika telah memaksa anak-anak hidup bagaikan tahanan yang diletakan di balik terali besi sehingga tidak mungkin bisa diendus. Riset ini juga menegaskan kondisi mereka yang terisolasi dan kehilangan hak-hak kemanusiaan mereka yang paling sederhana.
Riset ini menyebutkan bahwa meskipun program UNICEF untuk anak-anak Irak terus berlanjut dengan total dana mencapai 100 juta dolar setiap tahun di seluruh penjuru Irak sejak tahun 2003, yang dilaksanakan oleh pemerintah Irak dengan mendapat dukungan PBB, namun menyedihkan di tingkat pelaksanaan.
“Upaya-upaya yang layak untuk menutupi kebutuhan anak-anak, terutama di wilayah-wilayah yang sulit mendapatkan kebutuhan di distrik selatan, tidak sesuai dengan kemampuan yang ada. Hilangnya keamanan dan instabilitas akibat perang yang berlangsung di sana juga turut menjadi hambatan kemanusiaan yang dihadapi anak-anak Irak,” ungkap wakil khusus UNICEF untuk Irak seperti dinukil harian berbahasa Arab terbitan London al-Quds al-‘Arabi, Rabu (22/11).
Riset UNICEF ini menyebutkan bahwa 23% anak-anak Irak mengalami kurang gizi atau tidak mendapatkan makanan yang layak. Diperkirakan jumlah anak yatim yang kehilangan orang tua akibat perang mencapai 5 juta anak. Lebih dari satu setengah juta wanita Irak menjadi janda, kebanyakan mereka harus bekerja menghidupi anak-anak mereka. Mereka hidup sangat sulit meski untuk ukuran sangat minimal sekalipun. Di antara mereka ada yang menderita berbagai macam penyakit permanen dan berbahaya, akibat perang yang terus belanjut tiada henti. Jumlah anak-anak yatim diperkirakan akan terus bertambah akibat aksi-aksi bersenjata dan akibat kondisi keamanan yang tidak stabil.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya fenomena militerisasi masyarakat dan ini akan sangat berdampak pada kejiwaan anak-anak Irak. Anak-anak Irak merasa kejantanan mereka menjadi sempurna bila bisa mengenakan seragam militer dan menyandang senjata. Mereka mulai belajar menggunakan senjata pada usia sangat dini. Bahkan sejak anak-anak ini menyadari tentang hidup mereka mengerti tentang permainan perang, yaitu dengan tank-tank dan berbagai macam senjata yang ada di jalanan, mereka mencontoh apa yang disaksikan di televisi dari fenomena-fenomena perang, teror dan kekerasan. Ini berlaku bagi anak laki-laki. Bagi anak-anak perempuan, maka yang tertanam dalam benak mereka adalah ketakutan dan kecemasan oleh aksi penculikan, provokasi, pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Hal ini membuat anak-anak perempuan Irak semakin trauma dan ketakutan sehingga banyak dari mereka mengisolasi diri di dalam rumah. Semua ini sangat berdampak buruk bagi pertumbuhan jiwa anak-anak Irak.
UNICEF sangat menyayangkan kondisi anak-anak di Irak. Dijelaskan bahwa resolusi Majelis Umum PBB nomor 52/107 yang dikeluarkan pada 12 Desember 1997 menegaskan perlindungan terhadap anak-anak yang terpengaruh oleh konflik perang. Untuk itu, UNICEF meminta semua pihak berwenang dengan konflik ini untuk melindungi anak-anak Irak dan menghormati hak-hak mereka, memberikan bantuan kesehatan kepada anak-anak korban perang, memberikan perlindungan dan memperlakukan mereka secara khusus, dan memberikan ketrampilan kepada mereka.
UNICEF meminta para dokter dan rumah sakit-rumah sakit internasional mengkhususkan sebagian program kesehatannya untuk membuat program-program terapi terhadap anak-anak Irak yang menjadi korban perang. Kepada pemerintah Irak harus mengintensifkan program-program khusus untuk anak-anak yatim dan terlantar, menampung mereka di kamp-kamp pengungsi khusus. Karena kalau tidak maka nasib merek akan menjadi tidak jelas. (was/qa)