KHARTOUM (Arrahmah.com) – Uni Afrika telah memberi waktu 60 hari kepada penguasa Sudan saat ini untuk menyerahkan kekuasaan kepada otoritas sipil atau menghadapi penangguhan.
Ancaman tersebut datang pada Rabu (1/5/2019) setelah para pemimpin militer Sudan mengabaikan tenggat waktu sebelumnya untuk menyingkir dalam periode 15 hari yang ditetapkan oleh blok pada 15 April, lansir Al Jazeera.
Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika mengatakan pihaknya mencatat kegagalan militer untuk mentransfer kekuasaan kepada otoritas sipil “dengan penyesalan yang mendalam”, namun mengatakan memberi dewan “periode tambahan hingga 60 hari” untuk melakukannya.
Blok juga menegaskan kembali “keyakinannya bahwa transisi yang dipimpin militer di Sudan akan sepenuhnya tidak dapat diterima dan bertentangan dengan keinginan dan aspirasi yang sah, untuk lembaga-lembaga dan proses demokrasi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan rakyat Sudan”.
Militer mengambil alih kekuasaan di Sudan setelah menggulingkan penguasa lama negara itu Omar Al-Bashir setelah berbulan-bulan protes anti-pemerintah.
Mereka berjanji akan mengadakan pemilihan dalam waktu dua tahun tetapi para pendemo telah menolak itu dan tetap berada di jalan-jalan ibu kota, Khartoum, menuntut pemerintahan sipil segera.
Dewan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fattah Al-Burhan, telah bernegosiasi dengan para pemimpin protes tentang pembentukan pemerintahan transisi baru. Namun kedua belah pihak terbagi atas peran militer, yang didominasi oleh orang-orang yang ditunjuk Al-Bashir.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA) dan sekutunya, yang mengorganisir demonstrasi empat bulan yang mengusir Al-Bashir dari kekuasaan pada 11 April, menuduh para jenderal tidak ingin menyerahkan kekuasaan.
Kelompok itu menyerukan aksi massa pada Kamis (2/5) dan mengancam akan melakukan pemogokan umum. Militer, sementara itu, telah memperingatkan “kekacauan” lebih lanjut dan menuntut para pengunjuk rasa membersihkan penghalang jalan di sekitar lokasi aksi duduk mereka di luar markas militer di Khartoum. (haninmazaya/arrahmah.com)