Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) – Di awal bulan Agustus 2014 isu ISIS bak bola salju bergulir liar, persepsi publik digiring oleh media massa kepada kondisi kegentingan atas kepentingan nasional. Isu kisruh Pilpres juga menghangat yang akhirnya mencapai titik klimaksnya pasca ketetapan MK 21 Agustus 2014. Setelah itu isu bergeser menyentuh soal format kabinet baru di iringi geliat isu sensitif kenaikan BBM. Kenapa sensitif, karena menyangkut soal perut (baca;kehidupan ekonomi) ratusan juta rakyat kecil. Disamping impact-nya juga bisa sangat politis terhadap posisi dan eksistensi penguasa baru produk rezim pemilu 2014.
Diluar itu semua, ada sebuah proyek legislasi yang lolos dari perhatian khalayak, yang sejatinya masih terkait isu terorisme dan IS/ISIS. Yaitu; BNPT menempuh “gerilya” penggalangan untuk mendapatkan suport lahirnya Undang-Undang (UU) BNPT. Di DPR juga sudah dimulai langkah penyiapan draft akademik, nantinya akan dilanjutkan penyusunan draft RUU BNPT agar bisa masuk dalam program legislasi DPR. Saat ini secara kelembagaan BNPT eksistensinya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2010.
Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor: Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 dibentuklah “Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)” dengan tugas membantu Meteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan, dan Presiden SBY mengangkat Irjen Pol. Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Ketua DKPT.
Pada Rapat Kerja antara Komisi I DPR dan Menkopolhukam (31 Agustus 2009) DPR memutuskan merekomendasikankepada Pemerintah untuk membentuk suatu “badan” yang berwenang secara operasional melakukan tugas.
Berdasarkan rekomendasi Komisi I DPR tersebut dan assessment terhadap dinamika terorisme, maka pada tanggal 16 Juli 2010 Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan mengangkat Irjen Pol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Keputusan Presiden Nomor 121/M. Tahun 2010).
Dari DKPT (2002) menjadi BNPT (2010), yang sejak awal Ansyaad Mbai menjadi kepala di institusi tersebut. Namun sekarang BNPT masih merasa perlu legitimasi kuat dengan sebuah regulasi baru (UU). Pertanyaan penting; UU BNPT untuk apa? Apa argumentasi BNPT atas kebutuhan UU tersebut? Visible-kah rencana pembuatan UU BNPT?
Tulisan ini mencoba memberikan perspektif terkait soal-soal diatas dan perkara-perkara yang melingkupinya.
Pertama; BNPT dalam urusan terorisme sejatinya layaknya KPK, menjadi institusi “super body” dengan cakupan tugas pokok, fungsi, peran, anggaran, personel dan peralatannya.Kapasitas SDM pilihan dan dianggap terbaik, berpengalaman secara teknis, intinya cukup profesional (adanya kompetensi, tanggung jawab, berintegritas). Berdasarkan kajian bisa jadi bagi pimpinan BNPT; Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT, telah terjadi perubahan kapasitas pada struktur organisasi BNPT. Akan tetapi hal tersebut dianggap hanya menyentuh soal penguatan jabatan, belum pada tingkat pengembangan fungsi.
“Super Body” artikulasi real yang diinginkan adalah optimalisasi fungsi. Karenanya UU (Undang-Undang) adalah legitimasi kuat untuk mengoperasionalkan fungsinya. Keinginan lahirnya Undang-Undang lebih tampak di dasari logika dan nafsu “hegemoni” kelembagaan dibandingkan logika “kebutuhan”. Hipotesa ini bisa dikonfirmasi dengan capaian kinerja dan soliditas organisasi serta seberapa nihilnya “gap” antar lembaga terkait.
Kedua; fenomena terorisme adalah sebuah realitas komplek, kelahirannya tidak bergantung kepada pemicu tunggal. Fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebutkemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Terlihat, bagi BNPT yang paling penting ada “teroris” di Indonesia, berkembang dan berkelindan dengan jejaring “teroris” global. Tapi nihil dari kejernihan membaca secara utuh aspek dan latarbelakang politik kekinian lahirnya “warr on terrorism” dimana Barat (USA, cs) menjadi desainer (dalang) dan Islam menjadi bidikan utamanya.Melalui beragam isu semisal Arab Sprin, fenomena al Qaida, ISIS/ISIL/IS di kawasan Timur Tengah, Iraq-Suriah membuat BNPT lebih dramatis memposisikan “Indonesia darurat terorisme” dan secara aktual menjadi lembaga yang sangat pragmatisme dan menegasikan kompleksitas persoalan yang ditangani. Ditambah asumsi BNPT; resonansi terorisme yang bermula dari kawasan Timur Tengah kemudian memasuki wilayah Afrika Utara, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Maka Indonesia adalah basis potensial tumbuhnya “terorisme” dengan beragam identitas sekalipun obyeknya tidak bergeser secara signifikan. Di sisi lain, ideologi “Khilafah” yang menjadi target capaian dari entitas yang di cap radikal bahkan teroris dianggap sangat potensial mendapat dukungan masyarakat muslim Indonesia. Maka dalam sudut pandang “nation state” ini sangat kontraproduktif (berbahaya).
Mindset ini lebih tepat di sebut politics of fear, sebagai upaya pengambil kebijakan (pemerintah) untuk mengembangkan dan memanfaatkan keyakinan dan asumsi khalayak umum tentang bahaya, resiko, dan ketakutan demi meraih tujuan tertentu. Dan contoh empiriknya; isu terrorisme telah memberikan kuasa bagi para pemimpin di Barat untuk menciptakan ketakutan dan irasionalitas di hadapan publik sehingga mereka punya kuasa untuk melakukan apa saja. Ketakutan terhadap terorisme efektif untuk memobilisasi massa agar mendukung aksi-aksi militer dan aksi represif lainnya. Ini pola yang seolah terintegrasi kepada sosok kepala BNPT, Ansyaad Mbai yang sudah 12 tahun lebih mengangkangi peran ini.
Dalam konteks kepentingan diatas maka rasionalisasinya bagi BNPT adalah membutuhkan legitimasi yang kuat sekaligus sebagai lembaga yang “power full” menangani kontra terorisme. Eksistensinya melibatkan banyak instansi terkait, termasuk didalamnya adalah Polri dan TNI dan Institusi Intelijen. Maka persoalan fundamental bagi BNPT adalah lahirnya regulasi (UU) yang bisa menterjamahkan diksi “power full” tersebut, baik menyangkut eksistensi kelembagaan, peran fungsi maupun piranti-piranti regulasi lain yang dibutuhkan (misal; amandemen UU Nomor 15 tahun 2003)
Ketiga; apakah upaya penguatan regulasi (legal frame) bagi eksistensi BNPT visible? Untuk menjawabnya banyak faktor yang perlu di pertimbangkan dan dikaji ulang, antara lain;
Faktor pertama; sejak kelahiran BNPT (2010) yang sebelumnya DKPT (2002) bersama Densus-88 sangat kerap mendapatkan sorotan publik. Mulai dari para tokoh masyarakat, pimpinan ormas, akademisi, pengamat, analis sampai rakyat jelata memberikan komentar dan kritikan tajam. Dari kritikan konstruktif hingga dorongan upaya pembubaran Densus-88 dan BNPT. Ini realitas sosiologis yang tidak bisa di abaikan. Faktor penyebabnya terkait kinerja BNPT bersama Densus-88 yang dianggap sering “melukai” rasa keadilan umat Islam di Indonesia. Ditambah lagi sikap dan pandangan BNPT (khususnya Ansyaad Mbai) konsep dan statemen dihadapan publik seringkali sangat tidak peduli dengan perasaan umat Islam. Dari suguhan “terroristaimant” media massa, khalayak juga belajar dan mengambil kesimpulan secara liar, ada yang memberi apresiasi namun tidak kalah kuatnya adalah sikap resistensi dan antipati terhadap cara-cara overacting penindakan orang-orang yang diduga teroris.
Faktor kedua; kalangan politisi di DPR dari komisi terkait (Komisi I dan III) juga kerap memberikan kritikan tajam. BNPT dianggap keinerjanya tidak bagus, tidak efektif, kurang transfaran soal dana, BNPT tidak memiliki blue print (konsep) yang jelas, dan bahkan penilaian bahwa kinerja BNPT tidak akuntable juga muncul. Meski di sisi lain politisi (Komisi III) juga memperjuangkan kenaikan anggaran (keuangan) bagi BNPT. Secara faktual memang sejauh ini BNPT tidak pernah didengar oleh publik mendedah secara transfaran di hadapan DPR maupun rakyat, terkait penggunaan uang rakyat-negara (APBN) begitu juga capaian kinerja semenjak tahun 2010 di bentuk.
Faktor ketiga; keberadaan BNPT sebagai lembaga dengan peran dan fungsinya secara real banyak melahirkan overlaping dan gap (koordinasi yang tidak optimal) dengan lembaga-lembaga lain semisal TNI, BIN, BAIS dan lainnya. TNI sendiri membentuk Desk Anti Teror (DAT), bahkan di Kementerian Polhukam juga ada Desk Anti Teror, tentu bagi BNPT ketika tidak memiliki mekanisme hubungan kerja yang jelas akan membuat split dan kontra produktif. Apalagi jika yang dilibatkan oleh BNPT (dengan asumsi; power full) adalah banyak lembaga terkait; BIN, BAIS, Kejaksaan Agung, Kemenlu, Kemenhukam, Kemendagri, Kemenag, Kemendiknas, Kemeninfo, TNI, Polri, Perguruan Tinggi dan lainnya maka peluang disharmonisasi sangat sulit dihindarkan. Penggabungan resources yang dimiliki mulai dari legalitas, SDM, teknologi, anggaran, kelembagaan (organisasi) untuk membuat rancangan (desain) program penanggulangan terorisme dalam jangka panjang dan pelibatan yang luas bukan soal sederhana. Efektifitas sangat mungkin tereduksi karena postur organisasi dan pola kerja serta mekanisme koordinasi overlaping.
Dengan kewenangan yang diberikan kepada BNPT membentuk satgas termasuk pelibatan unsur Polri dan TNI dalam rangka penindakan, kerap dilapangan memunculkan “satgas liar” yang main tembak (bunuh) tanpa ada pertanggungjawaban.
Faktor keempat; dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2010 saja BNPT bersama Densus-88 sudah banyak melahirkan kontraksi di tengah masyarakat Indonesia (muslim mayoritas). Traumatik sejarah masyarakat atas rezim orde baru dengan Opsus-nya Ali Murtopo terulang di sosok Ansyaad Mbai dengan BNPT-nya plus Densus-88. Langkah-langkah penindakan yang di duga kuat sarat dengan pelanggaran HAM membuat masyarakat beropini bahwa perang melawan terorisme bukan semata-mata melawan dan menumpas sebuah kejahatan yang dikatagorikan exstra ordinary crime, melainkan diboncengi muatan politik dan ideologi dimana Islam dan umatnya menjadi target operasi. Ruang demokrasi yang di usung oleh Indonesia tidak berbanding lurus dengan profesionalisme penegak hukum untuk bisa menjamin rasa keadilan semua warga negara. Seperti dalam sebuah laporan final tim investigasi Komnas HAM (2013) terkait penindakan BNPT bersama Densus 88 dalam lima (5) tahun terakhir di simpulkan;
Dalam penanganan tindak pidana terorisme terdapat bukti terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin dan diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.Bentuk-bentuk perbuatan (type of acts) pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam Peristiwa Penindakan Tindak Pidana Terorisme, terutama pada perbuatan sebagai berikut :
- Hak untuk Hidup
- Hak untuk bebas dari penyiksaan
- Hak untuk Tidak Mendapat Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
- Hak untuk tidak ditangkap dan/atau ditahan secara sewenang-wenang
- Hak Atas Rasa Aman bagi masyarakat
- Hak Milik
- Hak Anak
- Hak Atas Informasi
Oleh karena itu upaya penguatan legal frame bagi BNPT mengharuskan evaluasi total dan komprehensif atas kinerjanya terlebih dahulu. Sebuah evaluasi yang transfaran dan akuntable, karena diluar uang hibah dari negara donor sesungguhnya BNPT bersama Densus 88 menggunakan uang rakyat ini juga perlu audit. Apakah semua uang tersebut untuk menciptakan solusi atau sebaliknya justru bagian dari trouble yang dihadapi oleh rakyat Indonesia terkait isu terorisme. Banyak produk UU (Undang-Undang) menjadi sia-sia menghabiskan uang rakyat karena di batalkan MK atau tidak visibel untuk di implementasikan. Diluar itu, negara jelas telah mengeluarkan anggaran untuk menggaji dan memberi tunjangan kepada semua aparat BNPT.Sebagai contoh kelas jabatan tertinggi atau kelas 17 yaitu Kepala BNPT mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp 19.360.000 dan kelas paling rendah mendapatkan tunjangan Rp 1.563.000. Tunjangan kinerja ini dibayarkan terhitung mulai bulan Januari 2012. Lantas UU (Undang-Undang) BNPT yang lagi di desain kelahirannya tersebut untuk kepentingan apa dan siapa? Masyarakat jadi mengerti, isu teroris, ISIS/IS dan Khilafah yang terus di goreng oleh BNPT itu tidak lebih sebagai bagian dari upaya rasionalisasi agar pihak legislatif mengaminkan nafsu “super body” nya BNPT.
Sejatinya langkah mencegah dan memutus perkembangan terorisme itu menuntut putusnya mata rantai tindak kekerasan. Solusinya? Meminjam kata Noam Chomsky, “Kita harus berhenti terlibat didalamnya”. Memerangi terorisme dengan tindakan teror dan terorisme akan mengembangbiakkan aksi-aksi terorisme berikutnya. (arrahmah.com)