Salah paham terhadap Islam, terbukti efektif melahirkan paham yang salah terhadap berbagai ajaran Islam. Kesalahan pahaman, umumnya muncul dari paradigma dan persepsi sesat, yang tidak saja menimpa masyarakat awam, bahkan para ulama dan tokoh-tokoh agama.
Dalam setiap kurun sejarah, selalu ada kelompok muharrif, yaitu orang-orang yang berupaya merobah makna dari ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga lahir pengertian yang bertentangan dengan maksud yang sebenarnya. Karakteristik para muharrif atau kaum penyesat agama ini, dapat dilacak melalui ciri yang digariskan Imam Malik rahimahullah, dalam kitab Tadribur Rawi karangan Imam As-Suyuthi, antara lain:
Pertama, mengabaikan implementasi ayat-ayat Al-Qur’an yang telah berurat akar sejak masa Rasulullah dan para shahabat. Kedua, menjadikan situasi dan kondisi actual sebagai landasan untuk melahirkan pemahaman baru dalam beragama, dengan maksud menciptakan toleransi di antara umat beragama serta kerdilisasi jiwa tauhid. Dan yang ketiga, membanggakan ilmu sebagai satu-satunya hakim kebenaran untuk melakukan modifikasi pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan hadits.
Resonansi Prof. Syafii Maarif dalam Republika, 6 Juni 2006, berjudul Gerombolan Pengkhianat, adalah contoh actual dalam kaitan dengan muharrifu ayatil Qur’an. Syafii mempertanyakan, apakah kekuatan fundamentalis agama sebagai alternatif bagi peradaban yang akan datang? “Bagi saya, baik fundamentalis sekuler maupun fundamentalis religius, setali tiga uang. Keduanya pasti akan menciptakan harakiri peradaban. Dalam perspektif Alqur’an, hanyalah sosok ummatan wasathan (komunitas medium, Albaqarah 143) yang dapat menyelamatkan peradaban, sekalipun posisi mereka sekarang masih berada di pinggir. Tetapi, kita yakin, melalui upaya yang sabar dan terus menerus, sejarah pada akhirnya akan berpihak kepada sosok umat inklusif, toleran, yang misi utamanya adalah menebarkan rahmat bagi semesta alam.”
Ummatan wasathan adalah ayat Alqur’an yang sudah diimplementasikan dan memiliki bentuk final di masa Rasulullah dan khulafaur rasyidin. Finalisasi dari ayat tersebut adalah penerapan syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan, yang menjamin terwujudnya rahmatan lil alamin.
Realisasi ummatan wasathan di zaman pasca Rasulullah dan para shahabat, tidak diperlukan nabi baru, apalagi tokoh yang berambisi mengangkat dirinya sebagai pemegang otoritas menafsirkan ayat Qur’an yang menurut dugaannya perlu adaptasi dengan kondisi waqi’iyah (aktual). Kerangka berpikir yang mengusung pembaharuan ataupun aktualisasi ajaran Islam tanpa merujuk pada implementasi Nabawiyah, merupakan upaya sinkretisme agama sebagai penyambung lidah misi kemusyrikan.
Menafsirkan istilah ummatan wasathan dengan mengambil konsep diluar Islam sebagai referensi menafsirkan ayat Qur’an adalah kemusyrikan modern yang mengusung misi Zionisme. Yaitu, menganggap pelaksanaan syari’at Islam sebagai fundamentalis dan perusak peradaban. Apalagi, menyamakan fundamentalis sekuler dan fundamentalis agama sebagai harakiri peradaban mencerminkan ‘buta aksara’ Alqur’an, suatu hal yang tidak pantas dilakukan seorang muslim.
Memaknai ummatan wasathan sebagai jalan tengah, atau komunitas medium, tanpa berpedoman pada implementasi Rasulullah dan khalifah Rasyidah, merupakan pembelokan terhadap karakteristik tauhidullah. Karena, Islam sebagai jalan tengah, artinya Islam sesuai dengan fitrah manusia, dengan menolak doktrin Yahudi yang mendewakan materi (hedonisme) dan menolak ektrimitas Nasrani yang mengabaikan kepentingan dunia, seperti tidak perlu beristeri.
Statemen Alqur’an surat Lukman ayat 6, penting direnungkan. “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Ayat ini menjelaskan, bahwa membantah kebenaran Alqur’an dengan pendapat dan gagasan untuk membelokkan manusia dari pemahaman yang benar dan lurus terhadap ajaran Islam. Dalam perspektif Alqur’an, orang seperti itu termasuk muharrif, yaitu melakukan tahriful Qur’an, sebagaimana dilakukan pendeta Yahudi atas Taurat dan pendeta Nasrani terhadap Injil. Muharrif, berarti merobah ayat Qur’an dari makna sebenarnya, sehingga terbentuk pengertian yang berbeda dari yang dimaksudkan.
Istilah ummatan wasathan, dalam peraktiknya berarti menerapkan syari’at Islam secara kaaffah, baik dalam urusan pribadi, keluarga, dan negara. Apabila pelaksanaan syari’at Islam bersifat parsial, mempertimbangkan suka atau tidak suka, toleran atau tidak toleran menurut pihak yang menentang Islam. Itulah yang dinamakan tahriful Qur’an, dan pelakunya disebut muharrif. Maka, menilai pelaksanaan syari’at Islam sebagai fundamentalis religius, merupakan kesesatan berfikir.
Oleh : Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin