PARIS (Arrahmah.com) – Ratusan Muslim Prancis memadati jalan-jalan di ibu kota Paris, Marseille, Lille, Strasbourg, Bordeaux dan Lyon untuk menentang Islamofobia dan RUU Kontroversial yang menargetkan umat Islam.
“Pemerintah Prancis telah menargetkan Muslim dan juga Islam, bahkan membatasi praktik-praktik agama Islam yang seharusnya dilakukan oleh tiap Muslim. Ini terlalu berlebihan. Kami mengutuk pendekatan kolonialis dan noe-kolonialis (pemerintah),” ujar Omar Slaouti, salah seorang pemimpin demonstrasi pada Ahad (21/3/2021) kepada Anadolu Agency.
Ketika ditanya terkait RUU Kontroversial yang dikeluarkan pemerintah Prancis, dia berkata, “Ada dua strategi. Yang pertama adalah adanya krisis ekonomi, sosial, kesehatan, dan lingkungan, namun (Presiden Emmanuel Macron) tidak dapat menemukan solusi untuk mereka. Sebaliknya, dia memperdalam kesenjangan sosial yang sudah ada.”
Dengan melihat bahwa Macron mengarahkan kemarahan kepada sebuah kelompok masyarakat, dia mengatakan bahwa strategi kedua adalah dengan membuat yang kaya semakin kaya.
“Dengan sistem ini, maka kesenjangan sosial semakin tinggi. Kami mengutuk kebijakan liberal dan rasisnya yang memperdalam kesenjangan yang ada,” imbuh Slaouti.
Ismael Al-Hajri, salah seorang demonstran mengatakan, “Kami menentang semua serangan kebijakan Islamofobia yang dilakukan oleh pemerintah selama 10 tahun. Ini adalah RUU yang membatasi kebebasan dan mengakibatkan diskriminasi terhadap Muslimah berjilbab.”
RUU tersebut dikritik karena menargetkan komunitas Muslim dan memberlakukan pembatasan di hampir setiap aspek kehidupan mereka. RUU itu mengatur untuk campur tangan terkait persoalan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka serta mengontrol keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah (LSM) milik Muslim.
RUU tersebut juga membatasi pilihan pendidikan komunitas Muslim dengan mencegah keluarga memberikan pendidikan rumah kepada anak-anak. Bahkan, RUU itu juga melarang pasien memilih dokter berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain dan mewajibkan “pendidikan sekularisme” bagi semua pejabat publik.
Retorika anti-Muslim Macron juga memicu gelombang perasaan anti-Muslim di antara kelompok-kelompok sayap kanan. Jumlah insiden Islamofobia di Prancis meningkat tajam tahun lalu.
Menurut National Observatory of Islamophobia, ada 235 serangan terhadap Muslim di Prancis pada tahun 2020, naik dari 154 tahun sebelumnya, melonjak 53%. Sebagian besar serangan terjadi di wilayah Ile-de-France (Paris besar), Rhones-Alpes dan Paca. Serangan terhadap masjid juga melonjak 35% di tahun yang sama.
Awal bulan ini, koalisi global yang terdiri dari 25 organisasi non-pemerintah (LSM) telah meminta Komisi Eropa untuk menyelidiki Prancis atas dukungan yang disponsori negara terhadap Islamofobia.
Bencana ekstremisme sayap kanan, yang khususnya menargetkan Muslim, telah meningkat di Eropa, dan laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa Prancis paling menderita karena atmosfer kebencian ini.
Muslim di Prancis khawatir tentang pandangan negatif yang dimiliki beberapa anggota masyarakat Prancis tentang Islam, kepala Observatorium Nasional Islamophobia Abdallah Zekri, mengatakan, bahwa tidak ada hubungan antara Islam dan terorisme, dan Muslim di Prancis harus mampu untuk mempraktikkan agama mereka secara bebas seperti anggota agama lain. Muslim di Prancis – bekas koloni yang mencakup negara-negara mayoritas Muslim di Afrika Utara dan Barat serta Timur Tengah – berjumlah sekitar 6% dari jumlah seluruh populasi. (rafa/arrahmah.com)