WELLINGTON (Arrahmah.com) – Menteri Hukum Selandia Baru Andrew Little mengakui rencana penanganan kelompok ekstremis supremasi kulit putih belum rampung ketika terjadi serangan teror di Christchurch pekan lalu.
Dalam wawancara dengan media setempat, Andrew Little menjelaskan baru pada tahun lalu pihak Security Intelligence Service (SIS) melakukan penanganan kelompok kanan yang mulai bermunculan.
Pernyataan Menteri Little tidak mengejutkan umat Islam di Selandia Baru. Mereka selama ini sudah merasakan bahwa ancaman kelompok nasionalis kulit putih belum ditangani secara baik.
Seorang warga keturunan Eritrea Ibrahim Omer menyatakan, umat Islam terlalu diawasi oleh pihak berwajib, sedangkan kelompok ekstrimis kulit putih pada umumnya diabaikan.
Ia menilai, jika komentar-komentar pelaku penembakan tersebut disampaikan oleh orang Islam, pihak berwajib pasti akan menanggapinya secara serius.
“Saya yakin orang Islam yang berkomentar [soal kekerasan] seperti dia pasti akan mendapat masalah,” katanya kepada ABC.
Omer mengungkapkan, sudah banyak warga Muslim melapor ke polisi karena menjadi sasaran ekstrimis supremasi kulit putih di Kota Wellington dan sekitarnya. Baik pelecehan secara online maupun di jalanan.
Dia mengaku mendengar banyak orang Islam setempat yang dikejar-kejar kelompok supremasi kulit putih yang penuh kebencian dan rasis.
“Sejumlah wanita juga diteriaki agar pulang kembali ke negara asalnya. adang juga jilbab mereka ditarik sampai lepas,” tutur Omer.
“Kami sudah tahu ada masalah sebelum serangan itu. Tapi kami tak menyangka akan sebesar ini,” tambahnya.
Hal ini dialami warga keturunan Somalia Adam Awad. Dia pindah ke Selandia Baru sejak 2001 dan kini dikaruniai empat anak.
Awad berharap kelompok supremasi kulit putih di Selandia Baru mendapat pengawasan lebih ketat.
“Kebencian mereka sangat kuat. Hal ini sudah rahasia umum di Wellington dan di seluruh negeri ini,” tandasnya.
“Kami menjadi sasaran. Diteriaki ‘kembali ke tempat asalmu’. Anak-anak dan keluargaku banyak mengalaminya,” ujarnya.
Menurut Awad, orang-orang tersebut hidup secara terbuka di sekitar mereka.
“Mereka melecehkan orang di supermarket, bahkan di tempat olahraga,” lanjutnya.
Pelecehan ini, katanya, juga sudah sering disampaikan sejumlah jamaah masjid.
“Orang Islam dimonitor secara agresif, tapi para ekstremis sayap kanan tidak diawasi,” ungkap Awad.
Mantan politisi Peter Dunne menyatakan perhatian terhadap aktivitas kelompok ekstrimis sayap kanan sangat kurang selama ini.
“Saya tak mengatakan mereka tidak diawasi. Tapi sejauh ini belum pernah ada laporan tentang hal itu,” katanya.
Meski demikian, Ibrahim Omer mengaku masih memiliki kepercayaan pada masyarakat Selandia Baru.
“Ketika jadi sasaran kebencian, saya bertanya-tanya apakah masih akan tinggal di Selandia Baru karena saya kira orang-orang seperti itu ada di mana-mana,” katanya.
“Kemudian hal ini terjadi. Kami melihat reaksi masyarakat sini, dukungan mereka. Mereka datang ke masjid dan menangis,” tuturnya.
“Mereka yang belum pernah berhubungan dengan orang Islam atau melihat masjid sama sekali, datang ke masjid, menangis bersama kami, berduka dengan kami,” kata Omer.
Hal itu, katanya, yang menjadikan dirinya yakin masih adanya toleransi masyarakat Selandia Baru.
ABC
(ameera/arrahmah.com)