Adalah Umar Mukhtar. Seorang tokoh dan figur yang memiliki semangat juang tinggi, intelektual, cerdas dan berdedikasi tinggi pada agamanya. Dilahirkan tahun 1861 di kota kecil di Libya bernama Zawia Janzour. Umar memulai hidupnya menjadi seorang sufi dan memasuki tarekat yang bernama Sanusiyah sampai beliau meninggal.
Tarekat yang unik. Ia tidak meninggalkan dunia tetapi peduli terhadap persoalan dunia. Tarekat ini sering berperang melawan ketidakadilan. Ini mengingatkan kita dengan do’a Abu Bakar, “Ya Allah! Jadikanlah dunia ini di tangan kami bukan di hati kami”.
Awal Perjuangan Libya Tahun 1911 kapal-kapal perang Itali berlabuh di pantai Tripoli, Libya. Mereka membuat permintaan kepada kekhalifahan Turki Ustmaniyah untuk menyerahkan Tripoli kepada Italia. Kalau tidak kota itu akan dihancurkan.
Bersama rakyat Libya, kekhalifahan menolaknya mentah–mentah permintaan itu. Mereka menganggap hal ini sebuah penghinaan. Akibatnya, titisan bangsa Romawi ini pun mengebom kota Tripoli tiga hari tiga malam. Peristiwa ini menjadi seri perjuangan mujahidin Libya, bersama tentara Turki melawan pasukan Italia.
Tahun 1912, Sultan Turki menandatangani sebuah perjanjian damai yang sejatinya sebagai simbol menyerahnya Turki kepada Italia. Perjanjian itu diadakan di kota Lausanne,Switzerland. Itulah awal pemerintahan kolonial Italia berkuasa di Libya. Namun, perjanjian ini ditolak rakyat Libya. Mereka tetap melanjutkan perang jihad. Di beberapa wilayah, mereka masih tetap dibantu oleh tentara Turki yang tidak mematuhi perintah dari Jenderal Turki di pusat kekhalifahan, Istanbul.
‘Sang Alim’ yang Peduli Umat Kecaman yang menimpa muslim Libya membuat Umar harus meninggalkan semua pengajiannya, demi kebutuhan umat. Sang Alim melayangkan pikiran, kita sejenak pada sosok Abdullah ibn Mubarak. Ulama besar yang peduli dengan kondisi yang bergolak saat itu.
Umar Mukhtar merupakan seorang komandan perang yang juga master dalam strategi perang gerilya di padang pasir. Ia memanfaatkan pengetahuannya tentang peta geografi Libya,untuk memenangi pertempuran. Terlebih pasukan Italia ‘buta’ dengan padang pasir.
Beliau benar-benar memanfaatkan keterbatasan itu sebagai area menjadi sebuah titik kemenangan. Karena ia menyadari, ia bergerak dalam ruang lingkup hukum alam atau sunnatullah. “Jangan pernah melawan sunnatullah pada alam, sebab ia pasti akan mengalahkanmu. Tapi gunakanlah sebagiannya untuk menundukkan sebagian yang lain, niscaya kamu akan sampai tujuan”, kaedah indah yang dipakai imam syahid Hasan Al-Banna.
Umar Mukhtar memiliki sekitar 6000 pasukan. Beliau juga membentuk pasukan elit kecil yang mempunyai mobility dan keterampilan perang yang tinggi. Keistimewaanya, berani tampil menjemput syahid. Pasukan ini mirip Brigade Izzuddin Al-Qassam yang miliki HAMAS di Palestina.
Tahun 1921 Umar Mukhtar tertangkap, karena pengkianatan salah seorang pasukannya. Tetapi berkat kepiawaiannya berdiplomasi dalam bahasa Inggris, Umar pun cepat dibebaskan oleh tentara musuh. Di tahun yang sama, Libya diperintah oleh Gubernur Jenderal Guiseppe Volvi. Ia mendeklarasikan akan “memperjuangkan hak-hak Italia dengan darah”. Lima belas ribu pasukan Italia pun disebar di kota Libya untuk membunuh para penduduk awam. Angkatan udara italia pun juga ikut berbicara. Kepala operasi ketentaraan ini adalah Pietro Badoglio dan Rudolfo Graziani. Nama terakhir ini tidak mengecualikan seorang pun dari pendukung-pendukung Umar yang tertangkap. Semuanya harus dibantai. Hal ini mendorong Umar beserta pasukannya kembali angkat senjata. Kemenangan pun diperoleh.
Italia kalang kabut. Mereka ambil sikap, menangkapi rakyat biasa Libya. Karena itu, Mujahidin Libya harus menjalani peperangan yang sangat panjang. Umar berganti titel; komandan perang untuk seluruh wilayah Libya. Terlebih, ia seorang ‘lulusan’ penjara Italia, sekolah yang semakin membesarkan cintanya membela Islam.
Peperangan yang berkisar pada tahun 1923– 1931, menyebabkan Italia menderita kerugian yang amat sangat. Italia kalah perang di mana-mana. Setelah mendapat laporan dari Libya, Benito Musollini turun tangan. Ia mengirim 400.000 pasukannya ke Libya. Perang menjadi sangat tidak seimbang. Ibarat David versus Goliath. Pasukan Umar Mukhtar ‘hanya’ 10.000 orang. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa bandingan pasukan muslim melawan pasukan kafir 1:10. Sangat wajar 10.000:400.000 mengakibatkan kekalahan mujahidin Libya.
‘Sang Idola’ Menjemput Syahid
Hukum Sunnatullah berlaku. Apalagi Mujahidin Libya telah berperang selama 20 tahun. Italia? mereka selalu berdarah segar, terkecuali para pemimpinnya. Tahun 1931, Umar Mukhtar tertangkap. Sebuah pukulan telak kepada rakyat Libya. Beliau pun diadili dalam pengadilan yang tidak ada keadilan di dalamnya. Akhirnya, 16 September 1931 Umar Mukhtar mendapatkan karunia Ilahiyah yang mengabadikannya; tiang gantungan. Sebuah icon paling penting dalam sejarah tirani abad ke-20. Simbol yang sangat akrab di telinga kaum muslimin khususnya.
Ratusan ribu rakyat Libya pun tak kuasa menahan tangisnya. Sedih karena sang idola telah tiada. Tetapi terharu melihat sang idola tersenyum menemui Robb-nya. Mereka semua mempunyai alasan untuk menitikkan air mata kesedihan. Sebagaimana kesedihan yang dirasakan wanita-wanita Madinah ketika mendengar berita kematian Khalid bin Walid di Syam. Sebab, orang-orang seperti itu memang layak ditangisi.
‘Sang Pemimpin’ dan Rahasia di Balik Kesuksesannya
Italia sangat terkenal dengan kekuatan militer. Terlebih, ia di bawah arahan Benito Musollini; diktator Italia yang menganut Fasis. Teman akrabnya, Adolf Hittler; diktator Jerman yang menganut Nazi. Membuat kocar kacir kekuatan yang ‘maha dahsyat’ seperti itu tidaklah mudah. Bahkan sangat berat. Tetapi tidak bagi Umar dan pasukannya. Mereka seringkali menjungkalkan benteng pertahanan milik Italia.
Sang pemimpin memiliki daya karismatik yang tinggi di mata rakyat Libya. Beliau mungkin sesuai dengan cara Umar bin Khatab r.a memaknai nilai seorang pemimpin di mata Allah. Ia berpesan kepada para pejabat di masa kekhalifahannya, “Ketahuilah kedudukan Anda di mata Allah dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada Anda!” Beliau memiliki keyakinan bahwa Allah hanya akan mau memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Di sinilah kunci kemenangan mujahidin Libya. Pasukan Umar Mukhtar sering memenangi peperangan meskipun dalam rasio pasukan yang jauh berbeda.
Sang pemimpin mengajarkan kepada kita bertarung dengan ruh dan semangat. Ketika ‘itu’ hilang dalam diri, maka segeralah bersiap–siap mengubur kemenangan. Umar Mukhtar adalah seorang manusia seperti halnya kita. Ia juga selalu dirundung banyak masalah. Pasti!. Kesedihan, kecemasan dan ketakutan. Bahkan keputusasaan serta keterpurukan pun mendera jiwanya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut pastilah menyedot energi fisik, jiwa spiritual, dan pemikirannya. Namun, ia tahu bagaimana melawan ketakutan dan kesedihan. Memunculkan harapan di atas keputusasaan. Mereka selalu tampak santai dalam kesibukan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan, dan gembira dalam segala situasi.
Itu semua hanya berangkat dengan modal keyakinan iman dalam jiwanya. Ia memiliki tradisi spiritualitas yang khas. Selalu berharap akan pertolongan dan kemenangan dari Allah. Itu semua terlukis dalam bentuk ibadah nadhahnya kepada sang Khalik dan perbuatan ‘saleh’ lainnya. Karena itu, ia abadi dalam kenangan manusia. Menjadi bintang abadi di langit sejarah. Wallahua’lam bisshawwab.
Source: Brain News