Oleh Hanif Kristianto
(Lajnah Siyasiyah-Divisi Politik-HTI Jawa Timur)
(Arrahmah.com) – Tak banyak yang menyoroti ulang tahun ke 70 Dewan Perwakilan Rakyat. Jumat, 28 Agustus 2015, perayaan dilakukan dengan mewah dan pagelaran seni budaya. Dewan yang mengaku sebagai perwakilan rakyat itu, sebenarnya masih menuai kritik dan nilai negatif. Rakyat terkadang dibuat berdegup kencang dan copot hatinya, melihat tingkah polah anggota dewan. Keinginan yang segera harus dipenuhi terkait pembangunan gedung baru, dana aspirasi, dan dana resesi. Serta fasilitas wah lainnya.
Kondisi seperti itu disaksikan jutaan mata rakyat. Barangkali rasa malu kian hilang dan keinginan besar untuk pribadinya sering disematkan atas nama rakyat. Adapun rakyat jadi stempel tanpa mau memahami keinginan dan penderitaan rakyat. Atas nama untuk kepentingan bersama dan demi bangsa. Naluri dan akal manusia sering tidak dipakai dalam menentukan kebijakan yang manusiawi. Seringnya terlalu mengada-ada. Rakyat sesungguhnya menagih janji, bagi mereka yang merasa beramanah dan sadar diri.
Mewakili Siapa?
Pembagian fungsi pemerintahan sistem demokrasi ditujukan check and balance (kontrol dan penyeimbang). DPR/MPR yang merupakan lembaga legislatif memiliki kewenangan tersendiri untuk mengontrol eksekutif. Hak yang dimiliki pun menjadikan DPR/MPR menjadi lembaga yang mewakili rakyat. Kondisi saat ini, DPR/MPR lebih pada legislasi dan penyusunan APBN bersama Presiden sebagai eksekutif.
Hubungan eksekutif dan legislatif saat ini pasang surut. Ibarat orang yang saling mencintai dan memahami. Terkadang ada prahara dan badai di tengah hubungan. Rakyat juga tanda tanya, apakah ini disengaja? Ataukah untuk pencitraan diri agar dianggap peduli pada rakyat biasa? Kubu oposisi dan koalisi kerap mewarnai sidang dan kehidupan sehari-hari. Suara lantang dan kritik kepada ekskutif kerap menghiasi pemberitaan dan media sosial.
Hal yang perlu dijawab berkaitan hubungan antara yang diwakili dan yang mewakili. Begitu pula keterikatan antara wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili. Konsep perwakilan—(Ramlan Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik)—dibedakan menjadi dua tipe:
Pertama, tipe delegasi (mandat), yang berpendirian bahwa wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Ia harus menyuarakan apa saja kepentingan rakyat yang diwakili. Keinginan itu dapat diketahui dengan hubungan secara periodik dengan rakyat. Apabila dalam suatu pemungutan suara (pengambilan keputusan) ia tidak sependapat dengan keinginan pemilihnya. Ia hanya memiliki dua pilihan, yakni mengikuti keinginan pemilih atau mengundurkan diri.
Kedua, perwakilan tipe trustee(independen), yang berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgment). Untuk melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan bahwa tugasnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Secara implisit wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada pemilihnya.
Fakta saat ini, tidaklah seindah konsep dua tipe perwakilan rakyat. Justru sebaliknya, kepercayaan rakyat kepada wakilnya kian menurun dan terjun bebas. Hal ini dikarenakan sistem politik demokrasi liberal seperti memutar roda gila. Siapa pun yang berada dalam pusarannya akan tergilas dan tidak lagi berpikir untuk rakyat. Meski ini tidak bisa disamaratakan, namun kondisi sakit ini kian mengakar di gedung dewan. Rakyat pun masih ingat dengan kasus korupsi, penyelewangan dana dengan alasan kunjungan kerja ke luar negeri, legislasi RUU yang tak bergigi dan mudah di-judicial review-kan. Teringat peristiwa UU Pilkada yang sempat heboh, kemudian diganti dengan Perppu (Peraturan Pengganti Perundang-undangan). Padahal UU Pilkada digodok bertahun-tahun. Bukankah ini legislasi yang buruk? Di samping itu, UU pun masih banyak beraroma liberal, pro kepada asing kapitalis dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain, rakyat yang kian menjerit dan terjepit dalam himpitan kehidupan yang tak pasti. Suaranya nyaring tak terdengar. Untuk bertemu secara periodik ataupun menyampaikan keluhannya, terkadang sulit. Tak semua wakil rakyat berhati baik dan menjadi pendengar yang baik. Maka jika dihadapkan pada dua tipe perwakilan, kiranya dapat diambil pelajaran berharga.
Pertama, amanah yang diberikan oleh umat belum dimaksimalkan dengan baik. Kinerja yang buruk kian menjadi sorotan tajam. Belum lagi kalangan anggota DPR/MPR dari berbagai latar belakang. Mulai artis, orang biasa, akademisi, hingga yang biasa saja. Kesemuanya berangkat dari partai politik. Masing-masing memiliki agenda agar dikatakan peduli wong cilik. Sesungguhnya siapa wong cilik? Jangan-jangan kelompok pribadinya dan keluarganya?
Kedua, ketiadaan independen wakil rakyat. Sudah menjadi hal maklum bahwa ketundukan utama kepada partai politik dengan mengesampingkan kepentingan rakyat dan nasional. Bukankah keputusan kenaikan harga BBM sering kali dijadikan ajang transksi politik melalui lobi-lobi? Waktu rapat yang hadir pun anggota dewan sering absen dan tidak berkualitas. Bahkan draft Rancangan Undang-Undang sering menjadi pesanan kapitalis asing. Semisal UU BPJS, UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Kelistrikan, dan sederet UU liberal lainnya. Nuansa barter kepentingan dengan kapitalis dan neo imprealis begitu terasa.
Ketiga, merasa diri mewakili rakyat dan memiliki staf ahli, menjadikan anggota dewan lupa daratan. Tidakkah mereka ingat bahwa UU yang diputuskan berasal dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Tak jarang menimbulkan multitafsir dan perdebatan pada isi teks UU. Kebebasan yang dijadikan pijakan, membuat manusia semaunya memutuskan dan membuat UU. Terkadang UU itu pun melukai hati rakyat bahkan menyiksa secara perlahan. UU dijadikan alat kepentingan eksekutif untuk mengokohkan kekuasaan dengan sedikit merayu anggota legislatif. Kalaupun ada perdebatan di awal pembentukan UU, itu hanya sebagai skenario pemanis. Tak lebih dari itu.
Keempat, penyusunan APBN 2016, kian liberal dan tak pro rakyat. Anggaran yang disusun pun merupakan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Penyerapan anggaran pun sering tidak jelas. Ungkapan APBN untuk rakyat, selama ini tidak terbukti. Pembangunan cenderung tumpang tindih. Dana kerap ditilep dan uang rakyat jadi bancaan.
Dengan demikian adanya, melihat fakta perwakilan anggota dewan. Perlu ada perumusan baru dengan menengok sistem politik selain demokrasi liberal. Sistem politik itu yakni Politik Islam. Saat ini tak banyak politisi maupun partai politik memiliki gambaran untuk terkait konsep Majelis Umat. Hal yang sering terjadi justru menyamakan sistem Majelis Umat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal sejatinya dua hal itu berbeda jauh.
Konsep Majelis Umat
Majelis Perwakilan dalam sistem demokrasi merupakan bagian dari pemerintahan. Karena dalam tradisi demokrasi memiliki wewenang pemerintahan. Sebab Majelis Perwakilan inilah yang berhak memberhentikan sekaligus mengangkat kepala negara. Majelis Perwakilan juga berwenang memberikan kepercayaan kepada kabinet, sekaligus berhak melontarkan mosi tidak percaya. Sehingga Kabinet (dipimpin oleh Perdana Mentri) seketika itu lengser dari tampuk pemerintahan. Faktanya, Majelis Perwakilan dalam demokrasi melakukan tiga perkara. Pertama, mengawasi dan mengoreksi pemerintah. Kedua, membuat undang-undang. Ketiga, mengangkat dan memberhentikan penguasa.
Berbeda dengan Majelis Umat. Kedudukannya mengoreksi dan mengawasi penguasa, serta menampakkan ketidaksuakaan itu, seperti penguasa lalai dalam melakukan ri’ayah asy-syu’un (mengurusi urusan rakyat), menganggap sepele penerapan Islam, atau bediam diri tidak melakukan aktivitas mengemban dakwah, dan lain-lain. Akan tetapi, Majelis Umat tidak berhak membuat Undang-Undang serta tidak berhak mengangkat dan memberhentikan penguasa. Aturan yang dijalankan berupa syariah Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Keberadaan pemerintahan dalam Islam adalah untuk menjalankan syariah Islam Kaaffah dalam bingkai khilafah.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakberpihakan wakil rakyat dalam sistem demokrasi karena memisahkan agama dari kehidupan. Tanggung jawab dan pemenuhan janji bisa sekadar pemanis untuk memberikan legitimasi duduk di kursi dewan. Sementara itu, sistem islam pertangungjawaban kepada Allah Swt di akhirat kelak. Sehingga dalam sistem pemerintahan akan terwujud saling mengingatkan dan tolong menolong dalam kebaikan. Rakyat dijamin kebutuhannya, karena menerapkan aturan berkah dari Allah dan Rasul-Nya. Inilah esensi kesadaran politik bagi umat Islam.
Saatnya hilangkan kegaduhan dan ketidakpastian politik pemerintahan yang ada saat ini. Tinggalkan politik dagang sapi dan pragmatis. Beralilah ke perubahan politik ideologis berdasarkan islam. (*/arrahmah.com)