SURABAYA (Arrahmah.com) – Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa masalah Ahmadiyah, Syiah, dan sejenisnya hanya merupakan perbedaan tafsir agama yang tidak dapat dikategorikan sebagai penodaan agama.
“Saya kira, apa yang disebut penodaan agama itu lebih pada `hate speech` (syiar kebencian), karena itu kasus Ahmadiyah, Syiah, dan lainnya lebih merupaan perbedaan tafsir dan perbedaan tafsir itu bukanlah penodaan agama,” katanya di Surabaya, Sabtu (24/11) seperti dilansir antara.
Ia mengemukakan hal itu dalam workshop jurnalis bertajuk “Memberitakan Isu Keberagaman” yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), AJI Cabang Surabaya, dan The Asia Foundation yang diikuti 36 jurnalis se-Jatim.
Ulil menuding, pandangan yang memposisikan Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya sebagai penodaan agama karena melanggar pokok-pokok ajaran Islam itu merupakan kriminalisasi keyakinan dan keberagamaan, sebab apa yang terjadi sesungguhnya hanya perbedaan tafsir.
“Menyikapi hal itu seharusnya negara memposisikan diri sebagai pihak yang netral terhadap Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya dalam satu sisi dengan MUI, PGI, KWI, dan sebagainya dalam sisi lain, karena negara tidak boleh masuk dalam perbedaan tafsir, kecuali ada `hate speech`. Kebebasan beragama yang tergolong `hate speech` antara lain mengencingi kitab suci,” katanya.
Oleh karena itu, anggota DPR itu mendukung rencana para wakil rakyat untuk “menyempurnakan” UU PNPS 1/1965 yang merujuk penodaan agama pada perbedaan tafsir agama dengan UU baru yang merujuk penodaan agama pada “hate speech” (syiar kebencian).
Selain membedakan tafsir agama dengan “hate speech”, politisi yang pernah difatwa mati ini mengharapkan masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa sektarian yang diajarkan dalam agama ketika menyikapi konflik bernuansa SARA, seperti kafir, murtad, sesat, dan sejenisnya.
“Khususnya media massa tidaklah pantas menggunakan bahasa sektarian, karena itu sebaiknya mengganti istilah kafir atau sesat dengan kelompok yang berbeda. Penggunaan bahasa yang kabur seperti itu merupakan hal yang bijak dalam mengurangi konflik,” katanya.
Senada dengan itu, aktivis LBH Jakarta Asfinawati menegaskan bahwa kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama itu merupakan dua kegiatan yakni menetapkan (memilih) dan menjalankan/manifestasi (ibadah, penaatan, amalan, dan ajaran).
“Kalau memilih agama atau keyakinan itu tidak dapat dibatasi dan bila dibatasi berarti melanggar HAM, namun kalau manifestasi itu bisa dibatasi, bahkan pembatasan itu pun dengan dua syarat yakni diperlukan dan dilakukan melalui hukum atau undang-undang,” katanya.
Konsep HAM itu, katanya, justru melindungi orang beragama dan hal itu juga berarti melindungi agama. “Jadi, HAM itu bukan memberangus agama, karena HAM juga bukan produk Barat seperti diduga orang, sebab konsep HAM itu dirancang Komite HAM yang terdiri dari Eleanor Roosevelt (AS), Peng-Chun Chang (RRC), Charbes Habib Malik (Lebanon), dan sebagainya,” katanya.
Sementara itu, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta Dewi Candraningrum meminta media massa untuk tidak terjebak dalam “memory collective” dalam memaknai sebuah kata, seperti PSK, janda, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya.
“Kalau mengikuti memory collective, maka hal itu seperti orang tidak sekolah, karena itu media massa jangan terjebak pada kata PSK tapi siapa yang mendatangkan PSK itu. Untuk kata Syiah, media massa juga jangan terjebak pada perbedaan, tapi lacaklah sejarah Syiah yang sudah lama ada dan sejak dulu tidak ada masalah,” katanya. (bilal/arrahmah.com)