ANKARA (Arrahmah.id) — Seorang ulama Turki telah mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan untuk tidak shalat di masjid bagi pengungsi Suriah. Hal itu dilakukan untuk menghindari pemeriksaan polisi sebab upaya deportasi semakin intensif dilakukan oleh pihak berwenang Turki.
Polisi Turki telah meningkatkan pemeriksaan identitas dan penangkapan di Istanbul dan kota-kota besar lainnya dalam beberapa pekan terakhir, dalam usaha yang menargetkan pengungsi dan pencari suaka.
Sekitar 1.000 warga Suriah telah dipaksa untuk kembali ke negara mereka dalam dua pekan pertama bulan Juli, meskipun sebagian besar memiliki izin tinggal yang sah, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR).
Kelompok yang berbasis di Inggris menyebut kampanye itu “tidak manusiawi” dan mendesak Ankara untuk menghentikan deportasi yang “merendahkan” dan “memaksa”.
“SOHR mengecam perlakuan tidak manusiawi terhadap pengungsi yang terpaksa melarikan diri dari kengerian perang ke Turki. Mereka datang ke Turki karena terpaksa bukan karena karena pilihan,” kata kelompok, dikutip dari Middle East Eye (21/7/2023)
Empat keluarga, termasuk anak-anak, merupakan pengungsi yang terakhir dideportasi pada Kamis (21/7), menurut SOHR. Sedangkan di saat bersamaan terjadi penangkapan puluhan pengungsi setiap harinya.
Di tengah penangkapan yang intensif, warga Suriah dan pengungsi dari negara lain dilaporkan menghindari area publik di mana mereka dapat dihentikan dan diinterogasi oleh polisi.
Dengan beberapa laporan beredar informasi bahwa polisi telah menangkap orang-orang ketika keluar dari masjid.
Menurut ulama Palestina kelahiran Suriah yang tinggal di Turki, Mohammad Khair Mousa, dia menyarankan para pengungsi untuk shalat di rumah saja daripada harus berurusan dengan polisi Turki.
“Ini adalah sebuah fatwa yang bercampur rasa sakit,” ujar Mousa dalam unggaha di media sosialnya.
“Barang siapa yang takut akan ditangkap dan dideportasi, atau takut akan adanya patroli dan pemeriksaan polisi di luar masjid, maka mereka dibebaskan dari kewajiban [shlat di masjid] dan bisa shlat Dzuhur di rumahnya ketika hari Jumat.”
Menurut PBB, Turki menampung jumlah pengungsi terbesar di dunia, dengan sedikitnya 3,6 juta pengungsi Suriah tinggal di negara itu dan tambahan 320.000 warga negara lain.
Negara itu membuka pintunya bagi warga Suriah pasca pembantaian yang dilakukan pemerintah Bashar al-Assad pada tahun 2011, yang menyebabkan 12 juta warganya mengungsi.
Namun, sentimen anti-Suriah dan rasisme telah meningkat di Turki dalam beberapa bulan terakhir, di tengah kesulitan ekonomi.
Banyak warga Suriah berharap retorika beracun yang digunakan terhadap mereka oleh politisi menjelang pemilu Mei akan berhenti setelah terpilihnya kembali Presiden Recep Tayyip Erdogan. Namun, upaya deportasi baru-baru ini justru mengejutkan banyak orang.
Sebelumnya, selama kampanye pemilihan presiden, Erdogan berjanji untuk secara sukarela mengembalikan satu juta warga Suriah ke tanah air mereka.
Rencana tersebut diumumkan meskipun tidak ada kesepakatan yang dicapai dengan pemerintah Assad yang dapat menjamin keselamatan mereka.
Pada 13 Juli, Erdogan mengatakan kepada wartawan bahwa “perubahan nyata pada migrasi tidak teratur” akan segera diberlakukan.
“Pasukan keamanan kami memperketat tindakan,” katanya. “Begitu migran ilegal ditangkap, mereka dikirim ke pusat repatriasi dan tindakan yang diperlukan dimulai di sana. Mereka dikirim ke negara mereka, dan melalui ini, kami menghilangkan kecemasan dan ketakutan rakyat kami.” (hanoum/arrahmah.id)