JAKARTA (Arrahmah.com) – Grand Imam Sunni Iran Imam Maulana Maulawi Madani, menyambangi kantor MUI pusat di Jl. Proklamasi Jakarta, Senin (20/2). Dalam kunjungannya itu, Imam Maulawi menjadi duta pemerintah Iran untuk menjelaskan kondisi umat Islam di Iran.
Dengan menggunakan bahasa Arab, Imam Maulawi menjelaskan kondisi umat Islam di bawah Rezim Ahmadinejad, yang menurutnya baik, sekaligus ia membantah kabar bahwa umat Islam Ahlus sunnah ditindas di Iran.
Pernyataan tersebut, tak pelak mengundang komentar dari beberapa ulama dan asatidz di MUI. Salah satu asatidz yang mengunjugi acara tersebut dan sempat mengajukan sejumlah pertanyaan, yaitu Ustadz Farid Ahmad Okbah memberikan tanggapannya kepada arrahmah.com.
Menurut ustadz yang sekaligus peneliti Syi’ah ini, dalam merespon keterangan Grand Imam Sunni Iran tersebut, perlu dikonfirmasi kembali, karena Imam tersebut merupakan utusan resmi pemerintah Iran.
“Kita perlu konfirmasi ulang tentang kondisi ahlus sunnah di Iran, dari sumber lain supaya objektif,” kata Ustadz Farid kepada arrahmah.com di kantor MUI Pusat Jl. Proklamasi, Jakarta, Senin(20/2).
Ustadz Farid menjelaskan, bahwa apa yang terjadi di Iran terhadap kondisi ulama-ulama Ahlu sunnah, berbeda sekali dengan apa yang dipaparkan oleh Imam Sunni utusan pemerintah Iran. Dalam data-data yang beliau dapat mereka mengalami kondisi yang menyulitkan. Seperti adanya penyiksaan, pemenjaraan, dan penindasan.
“Kita mempunyai data-data dari ulama-ulama sunni Iran non pemerintah yang menunjukkan data-data yang berbeda dengan yang disampaikankan tadi,” ujar pengasuh Islamic Center di Pondok Gede ini.
Bahkan beliau, sempat menunjukkan kepada Imam Maulawi buku seorang ulama Syi’ah Iran yang menjadi sunni dan mengalami penindasan di sana.
“Salah satu ulama Syi’ah yang masuk menjadi sunni dan mendapat tekanan, yaitu Ayatullah Udzma Burqawi setingkat Khameini,” beber Ustadz Farid sembari menunjukkan buku.
Dalam acara tersebut, Ustadz Farid pun sempat memberikan pandangan terhadap upaya taqrib (penyatuan) antara Sunni dan Syi’ah. Menurutnya, boleh saja mereka berniat melakukan persatuan. Akan tetapi harus dengan dua syarat yang harus dipenuhi oleh Syi’ah.
Syarat pertama, Syi’ah tidak boleh melakukan pencelaan terhadap para Sahabat, yang biasa mereka lakukan selama ini, tak terkecuali di Indonesia.
“Tadi saya kasih bukti bahwa Syi’ah di sini melakukan pencelaan terhadap Sahabat dalam acara resmi mereka,” terangnya.
Syarat kedua, Syi’ah tidak boleh melakukan Syi’ahnisasi terhadap ahlus sunah, dengan mengajak masyarakat Sunni masuk ke dalam syi’ah.
“Kalau mereka ingin bersatu boleh saja. Tetapi jangan mengajak ahlus sunnah kepada syi’ah, atas nama ahlul bait mereka membawa ahlus sunnah kepada syi’ah,” lontar ustadz farid.
Lebih dari itu, beliau meminta Syi’ah dapat bersikap jujur dalam membangun upaya penyatuan antara sunni dan syi’ah. Jangan selalu berbeda antara perbuatan dengan apa yang dikatakan.
“Jadi kita fair-fair saja lah, kalau mereka ingi menjadi syi’ah ya sudah, jangan menyakiti kita, jangan mengajak-ajak kita menjadi syi’ah, kalau mereka ingin menjadi syiah, ya urusan merekalah nanti dengan Allah,” tutur beliau.
Adapun menanggapi sosok imam besar Sunni Iran tersebut, Ustad Farid menganggap Imam tersebut belum bersikap objektif dalam pemaparannya terhadap kondisi masyarakat Sunni di Iran, dikarenakan Imam tersebut adalah penasihat Kepresidenan di Iran.
“Kalau inikan ulama plat merah, makanya tidak objektif. Saya melihat tadi, ulama mengaku ahlus sunnah tetapi melakukan pembenaran terhadap mut’ah, memaklumi versi Syi’ah. Dia memberikan jawaban ganda,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)