SURIAH (Arrahmah.com) – Dua jihadi yang berpengaruh di Suriah, terlibat dalam perang kata-kata tentang Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dari Turki. Perdebatan tentang menerima bantuan dari pemerintah Erdogan telah lama menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan jihadi.
Perseteruan dimulai di media sosial ketika Syaikh Abdullah Al-Muhaysini, ulama Saudi yang bergabung dengan kelompok perlawanan, menanggapi sebuah buku yang diterbitkan di Turki yang menuduhnya dan orang lain melakukan agitasi terhadap Erdogan.
Untuk membantah tuduhan tersebut, sebagaimana dilansir Long War Journal pada Senin (28/9/2020), Muhaysini mengutip pendapat salah satu gurunya, Syaikh Abdul-Aziz Al-Tarifi, yang pernah dipenjara di Arab Saudi.
“Erdogan adalah seorang Muslim yang rajin, setia dalam agama Tuhan, dan yang mencoba untuk mereformasi negaranya, dan mendukung masalah ummat Islam, dan tidak semua keputusan ada di tangannya,” kutip Muhaysini.
Menurut Muhaysini, Tarifi menolak klaim takfiri yang ditujukan kepada Erdogan, dengan alasan bahwa ini adalah “dilebih-lebihkan”. Artinya, bagi Muhaysini dan Tarifi, Erdogan bukanlah orang murtad dan tidak boleh dicap sebagai orang yang berada di luar keyakinan Islam.
Muhaysini kemudian menambahkan: “Sepanjang kehadiran saya di Suriah, setiap kali ditanya tentang pertanyaan ini, saya meneruskan fatwa ini kepada mujahidin.”
Berbeda dengan Abu Muhammad Al-Maqdisi yang tinggal di Yordania, pendapat Muhaysini ini langsung dia tegur.
Laman Telegram Pro Al Qaeda membagikan tanggapan Maqdisi, serta kritik lain terhadap pendapat Muhaysini.
Maqdisi mencibir mereka yang menganggap Erdogan sebagai “pemimpin tercinta” mereka. Dia berpendapat bahwa mereka mencoba untuk menyangkal bahwa dukungan mereka untuk Erdogan merupakan “dilusi ideologi,” meskipun mereka tidak menyangkal bahwa pemimpin Turki mempromosikan sekularisme dan bagian dari NATO.
Maqdisi menunjukkan bahwa para jihadi pro-Erdogan “tidak menyangkal” bahwa tentara Turki adalah bagian dari NATO.
Menurut Maqdisi, Muhaysini dan yang lainnya telah melakukan kompromi yang tidak tepat dan menyesatkan umat.
Menanggapi penyataan keras Maqdisi, Muhaysini mengklaim Maqdisi bahkan bukan seorang ulama. “Saya tidak menganggap dia [Maqdisi] sebagai Syaikh. Mereka yang memuji Maqdisi dan menyebutnya sebagai Syaikh sedang menipu generasi mujahidin yang sedang naik daun dan merugikan jihad di Afghanistan dan Irak.”
Perselisihan antara Muhaysini dan Maqdisi diawali ketika kelompok pejuang pembebasan HTS memutuskan melakukan kesepakatan dengan Turki. Beberapa kritikus HTS, termasuk Maqdisi, telah keberatan dengan langkah ini dengan alasan bahwa itu adalah kompromi yang tidak dapat diterima.
Meskipun Muhaysini menuduh Maqdisi sebagai penyelundup yang memecah belah, Maqdisi bukanlah satu-satunya yang mengkritik Muhaysini yang berkerja sama dengan Turki.
Abu Ubaydah, amir Asy Syabaab, telah mengambil sikap keras terhadap Erdogan. Dalam pesan 2018, Abu Ubaydah memperingatkan Muslim bahwa mereka tidak boleh tertipu oleh slogan kosong Presiden Erdogan.
Menurutnya, Erdogan adalah pemimpin rezim sekuler yang merupakan anggota aliansi NATO, bersahabat dengan Amerika, dan mengakui “Israel”. (Hanoum/Arrahmah.com)