KABUL (Arrahmah.com) – Warga Afghanistan tidak akan pernah menerima keputusan AS bagi lima tentara Amerika yang terlibat dalam pembakaran salinan Al-Quran, dan Afghan bisa bangkit dalam “badai kemarahan” jika tidak ada pengadilan yang terbuka, seorang ulama senior mengatakan, pada Sabtu (3/3/2012).
Pembakaran Al Quran di sebuah pangkalan udara NATO telah membuat marah bangsa Muslim itu dan memicu protes. Hal ini jelas memperumit upaya Amerika Serikat untuk membentuk sebuah pakta keamanan jangka panjang dengan Afghanistan menjelang penarikan pasukan tempurnya akhir 2014.
“Para pemimpin militer yang memerintahkan pembakaran dan pelaku pembakaran harus diadili dan dihukum. Ini kejahatan yang telah dilakukan dalam Afghanistan sehingga hukuman harus sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini,” Qazi Nazir Ahmad Hanafi, seorang ulama yang juga mengetuai tim penyelidikan insiden tersebut, kepada Reuters.
“Hukum yang diberlakukan militer AS tidak akan pernah bisa diterima. Jika tuntutan kami diabaikan, maka badai kemarahan akan memuncak dan kami akan membersihkan orang Amerika.”
Penyelidikan bersama yang dilakukan oleh pejabat militer AS dan anggota pemerintah Presiden Afghanistan Hamid Karzai, menyimpulkan bahwa lima tentara AS yang terlibat, kata para pejabat tanpa menyebut nama, pada Jumat (2/3).
Presiden AS Barack Obama dan pejabat AS lainnya telah meminta maaf atas pembakaran tersebut.
Sementara itu, anggota parlemen Afghanistan, Mullah Tarakhil, yang juga bagian dari kelompok yang menyelidiki insiden itu, mengatakan bahwa menunda persidangan dan hukuman dapat menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut. Dia mengatakan 400 salinan Quran telah dibakar.
“Kami menginginkan hukuman langsung terhadap pelaku sehingga kami bisa menyembuhkan luka yang telah ditorehkan oleh orang-orang bodoh dari Amerika,” katanya. (althaf/arrahmah.com)