Oleh Fitria Rahmah, S.Pd
Pendidik Generasi dan Aktivis Dakwah
Sejak diberlakukannya, uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) terus mengalami kenaikan. Hal ini menuai kontroversi di tengah masyarakat, karena jelas sangat membebani, terutama para orang tua yang akan menguliahkan anak-anaknya.
Seperti dilansir dari laman online Kompas.com pada Ahad, 20 Mei 2024. Sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan mundur dari Universitas Riau karena merasa tidak untuk sanggup membayar uang kuliah tunggal (UKT).
Mahalnya biaya UKT saat ini mengakibatkan pendidikan di jenjang Universitas menjadi makin sulit untuk dijangkau oleh mayoritas penduduk Indonesia. Tidak adanya peran negara dalam mengurusi urusan rakyat menjadi penyebab mahalnya biaya UKT saat ini. Hal ini dibuktikan dengan berubahnya status perguruan tinggi negeri dari badan hukum milik negara (BHMN) menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH).
Selain itu, pendidikan di dalam sistem bernegara saat ini dianggap sebagai komoditas ekonomi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d di Undang-Undang Perdagangan, bahwa jasa pendidikan memang menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Hal ini pun dipertegas dengan respon dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, Tjitjik Sri Tjhahjandarie, mengatakan bahwa pendidikan merupakan pendidikan tersier atau tertiary education. Pendidikan tinggi bukan termasuk dalam program wajib belajar. karena itu sifatnya pilihan. Maka dari itu tidak aneh jika negara tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak lepas dari sistem yang dianut saat ini, yaitu demokrasi. Demokrasi yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis membuat peran negara menjadi terbatas. Sebab negara tidak dapat menjalankan roda perekonomian secara mandiri. Namun, terdapat peran kaum kapitalis atau pemilik modal dalam pergerakannya. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang hanya akan menguntungkan para pemilik modal, tanpa memedulikan nasib rakyat.
Selain itu, sistem ini pun mengganggap segala sesuatu adalah materi yang bisa diperdagangkan, hal ini pun berlaku dalam bidang kesehatan, keamanan dan juga pendidikan.
Maka orientasi dari sistem ekonomi kapitalisme adalah untung atau manfaat. Sehingga, tidak heran jika pembiayaan pendidikan bukan tanggung jawab negara. Sebab ia adalah komoditas dagang yang harus menghasilkan keuntungan. Sudah dapat dipastikan kapitalisasi pendidikan akan menyebabkan biaya pendidikan terus mahal dan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat, padahal pendidikan adalah hak setiap rakyat. Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep ini.
Kezaliman negara kapitalis sangat nyata terlihat dengan kebijakan yang dikeluarkan. Seperti memblacklist sekolah yang siswanya lolos SNBP, tetapi tidak mengambilnya. Ini adalah sebuah pemaksaan dan pemerasan yang dilegalkan.
Kondisi pendidikan saat ini hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berada di lapisan masyarakat atas saja, sedangkan lapisan masyarakat menengah dan bawah harus berpikir beribu-ribu kali, bahkan mengurungkan niatnya untuk berkuliah, dikarenakan keterbatasan ekonomi yang ada.
Sejatinya, pendidikan adalah kebutuhan pokok manusia seperti halnya kesehatan dan keamanan yang harus dapat dinikmati oleh seluruh manusia tanpa terkecuali. Negara harus mampu menyediakannya secara cuma-cuma karena ini adalah tanggung jawab negara sepenuhnya.
Tidak hanya menyangkut biaya pendidikan, tetapi juga gaji guru atau dosen, infrastruktur, sarana dan prasarana menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Kondisi ini jelas tidak akan tercipta dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi seperti saat ini. Tetapi kondisi ini hanya akan tercipta pada negara yang menerapkan sistem Islam secara sempurna di semua aspek kehidupan.
Dalam pelaksanannya secara politik, negara yang bersistemkan Islam akan berperan sebagai penanggungjawab dan mengelola secara langsung aset negara demi terpenuhinya kebutuhan rakyat. Pemimpin dalam negara yang bersistemkan Islam diibaratkan seperti penggembala yang sedang menjaga hewan gembalaannya. Sebagaimana sabda Nabi saw.: “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim).
Adapun secara ekonomi, negara memiliki berbagai macam sumber pemasukan negara. Salah satunya, sistem ekonomi Islam akan mewajibkan negara untuk mengelola secara langsung sumber daya alam yang ada. Sumber daya alam merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh diprivatisasi. Sebab, hasil dari sumber daya alam akan menjadi salah satu sumber pemasukan negara yang sangat besar, dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Biaya pendidikan yang begitu besar akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Semuanya diatur melalui mekanisme Baitul Mal, oleh karena itu, negara Islam akan mampu menyediakan pendidikan gratis yang berkualitas untuk melahirkan generasi berkarakter Islam, kuat, gigih dan cerdas yang mampu melahirkan peradaban emas.
Pemimpin akan memimpin dengan dasar akidah dan keimanan kepada Allah Swt., sehingga hal ini akan mencegah pemimpin dari perbuatan kotor mengambil hak rakyat, atau korupsi.
Seandainya terjadi korupsi atau pelanggaran hukum lainnya, negara bersistemkan Islam memiliki sanksi tegas yang mampu menjadi efek jera (zawajir) dan juga penebus dosa (jawabir).
Seperti inilah gambaran negara yang menerapkan sistem Islam secara sempurna. Rakyat akan hidup sejahtera dan rahmat Allah Swt. akan senantiasa hadir menyelimuti kehidupan. Kondisi ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya’ ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).”
Wallahua’lam bis shawab