KIEV (Arrahmah.id) – Ukraina telah melarang pejabat pemerintah dan militer untuk menggunakan aplikasi perpesanan Telegram pada perangkat-perangkat yang dikeluarkan oleh pemerintah karena adanya kekhawatiran akan adanya pengawasan dari Rusia.
Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional mengumumkan pembatasan tersebut pada Jumat (20/9/2024) setelah Kyrylo Budanov, kepala badan intelijen militer GUR Ukraina, memberikan bukti kepada dewan tersebut tentang kemampuan badan-badan khusus Rusia untuk mengintip platform tersebut, katanya dalam sebuah pernyataan.
Larangan itu adalah “masalah keamanan nasional”, tambahnya.
Telegram banyak digunakan di Ukraina dan Rusia dan telah menjadi sumber informasi penting sejak Rusia meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Februari 2022, lansir Al Jazeera (21/9).
Presiden Volodymyr Zelenskyy, yang duduk di dewan keamanan, serta para komandan militer dan pejabat daerah dan kota, semuanya secara teratur mempublikasikan informasi terbaru tentang perang dan melaporkan keputusan-keputusan penting melalui Telegram. Para pejabat yang menggunakan Telegram sebagai bagian dari tugas mereka tidak akan terpengaruh oleh larangan baru ini.
Berbasis di Dubai, Telegram didirikan oleh Pavel Durov yang lahir di Rusia, yang meninggalkan Rusia pada 2014 setelah menolak untuk memenuhi tuntutan untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosialnya, VKontakte, yang kemudian ia jual.
Durov ditangkap di Prancis bulan lalu dan didakwa dengan tuduhan mempublikasikan konten ilegal di platform tersebut.
Pernyataan dewan mengatakan bahwa Budanov telah memberikan bukti bahwa layanan khusus Rusia dapat mengakses pesan Telegram, termasuk yang telah dihapus, serta data pribadi pengguna.
“Saya selalu mendukung dan terus mendukung kebebasan berbicara, tetapi masalah Telegram bukanlah masalah kebebasan berbicara, ini adalah masalah keamanan nasional,” kata Budanov dalam pernyataannya.
Setelah keputusan tersebut diumumkan, Telegram mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak pernah mengungkapkan data siapa pun atau isi pesan apa pun.
“Telegram tidak pernah memberikan data pesan apa pun ke negara mana pun, termasuk Rusia. Pesan yang dihapus akan terhapus selamanya dan secara teknis tidak mungkin dipulihkan,” kata Telegram.
Telegram mengatakan bahwa setiap kejadian yang disebutnya sebagai “pesan yang bocor” telah terbukti sebagai “hasil dari perangkat yang disusupi, baik melalui penyitaan atau malware”.
Menurut database Telemetrio, sekitar 33.000 saluran Telegram aktif di Ukraina.
Media Ukraina memperkirakan bahwa 75 persen orang Ukraina menggunakan aplikasi ini untuk berkomunikasi dan 72 persen di antaranya menganggapnya sebagai sumber informasi utama pada akhir tahun lalu. (haninmazaya/arrahmah.id)