MAKASSAR (Arrahmah.com) – Menanggapi fenomena tergerusnya ukhuwah Islamiyah di tanah air, pembaca Arrahmah.com menyuarakan gagasannya. Berikut kontribusi Ukhtina fiillah Rosy Khusaeni mengenai ukhuwah sebagai buah keimanan kita, yang diterima redaksi Arrahmah pada Kamis (26/2/2015).
***
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Umar Bin Khattab radhiAllahu ‘anhu pernah berkata : “Aku tidak mau hidup lama di dunia yang fana ini, kecuali karena tiga hal; keindahan berdakwah dan berjihad di jalan-Nya, repotnya bangun dan berdiri untuk Qiyamul Lail, dan indahnya bertemu dengan sahabat-sahabat seiman.”
Mungkin kisah berikut ini mampu mengawal perasaan kita. Betapa ukhuwah itu merupakan penanda iman kita.
Semenjak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, Bilal radhiAllahu ‘anhu menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar radhiAllahu ‘anhu memintanya untuk menjadi muadzin kembali, dengan hati pilu nan sendu Bilal berkata : Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.
Abu Bakar pun tak bisa lagi mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Rasulullah terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, ia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya : “Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”
Bilal pun bangun terperanjat, segera ia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah ke makam Rasulullah. Sekian tahun sudah ia meninggalkan Rasulullah.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, pada sang kekasih.
Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah Hasan dan Husein radhiAllahu ‘anhuma. Dengan mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut.
Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja. Bilal pun memenuhi permintaan itu.
Saat waktu shalat tiba, ia naik pada tempat dahulu biasa ia adzan pada masa Rasulullah masih hidup. Mulailah ia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang. Suara yang mengingatkan pada sosok Nan Agung, suara yang begitu dirindukan itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata Asyhadu an laa ilaha illallah, seluruh isi kota Madinah berlarian ke arah suara itu sambil berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar. Dan saat Bilal mengumandangkan Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan.
Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu Madinah mengenang masa saat masih ada Rasulullah diantara mereka. Hari itu adalah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Adzan yang tak bisa dirampungkan.
Bayangkan kita seolah sedang hidup bersama di tengah-tengah mereka, hamba-hamba Allah yang selalu terhubung dengan langit dan merasakan indahnya ukhuwah dalam kebenaran dan kemuliaan.
Maka jika masih ada batas dalam perjalanan ukhuwah kita, bisa dipastikan kita telah gagal menggenggam makna ukhuwah yang sebenarnya.
Ada sebuah nasihat dari Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah,
“Ukhuwah itu hanya sekedar buah dari keimanan kita kepada Allah.”
Jadi jika ukhuwahnya bermasalah mari kita evaluasi keimanan kita kepada-Nya. Efek dari hubungan baik kita dengan yang ada di langit secara langsung berefek pada baiknya keterhubungan kita dengan yang ada dibumi. Dalam sebuah kutipan dari al Mughirah, ada nasihat yang mengingatkan kita.
Sebesar cintamu kepada Allah, sebesar itu pula cinta orang lain kepadamu.
Sebesar ketakutanmu akan murka Allah, sebesar itu pula keseganan orang lain terhadapmu.
Sebesar kesibukanmu pada Allah, sebesar itu pula orang lain sibuk untukmu.
Begitu juga dalam Ayat Al Qur’an, Allah berfirman,
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat :10).
Ikhwah fiillah, hati yang beriman adalah hati yang jelita disebabkan dalam hati mereka selalu bersambung dengan Allah dan selalu meneladani Rasulullah. Salim A. Fillah pernah berkata, hati yang jelita itu adalah hati yang selalu mengulurkan rasa cinta pada sesama. Hati mereka selalu tunduk pada Allah dan Rasulullah sehingga mudah tunduk pada ukhuwah meski dengan berbagai perbedaan yang ada.
Dan rendahkanlah dirimu bila bersama orang Mukmin. Kita diminta berendah hati bila kita mau meneladani Rasulullah. Karena ketika kita merendah kita tak akan mudah terjatuh. Dan bila sampai terjatuh tak begitu terasa sakit.
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺑﺎﺭﻙ وسلم
(adibahasan/arrahmah.com)