(Arrahmah.com) – Sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam kehidupan setiap hamba teriring dengan ujian dan bebanan hidup yang silih-berganti. Hal ini Allah Ta’ala jamin keberlangsungannya dalam firman-Nya,
Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah, 2:155)
Serupa pula dengan firman-Nya,
Artinya, “Dan sungguh, Kami akan benar-benar menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar diantara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.” (QS. Muhammad, 47:31)
Demikian juga halnya terhadap dakwah yang haq yaitu dakwah yang didasari oleh petunjuk Yang maha pembuat syari’at dengan bertujuan mentauhidkan-Nya dan mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Maka bentuk dakwah ini senantiasa tidak akan terlepas daripada ujian, rintangan, dan ancaman, baik secara mental maupun fisik. Laksana kata, dakwah yang haq tanpa dibarengi ujian dan rintangan, seperti sebuah hal yang patut dipertanyakan—dakwah seperti apakah itu? Oleh karena beratnya beban yang harus diterima, maka sedikitlah yang mampu melaksanakan dakwah haq ini karena takut akan konsekuensinya. Sebaliknya, mereka yang mampu dan tetap istiqomah menopang ujian dan rintangan demi tersebarnya syari’at Allah di muka bumi ini, mereka akan tegar dan berjiwa besar.
Berikut beberapa ujian dan rintangan para du’at (penyampai dakwah) dalam mendakwahkan yang haq:
1. Dibenci dan dimusuhi
Mendakwahkan yang haq merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim dari Rabb-nya, terutama kepada yang memiliki kemampuan dakwah semisal para du’at. Namun tugas ini sungguhlah berat karena akan mendapat perlawanan dari hizbutthaghut yang tidak akan tinggal diam jika kebenaran yang hakiki ditebarkan di muka bumi. Perlawanan ini telah ada sejak zaman para nabi dahulu dan berkekalan hingga akhir zaman. Akan hal ini, Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa.” (QS. al-Furqon, 25:31)
Lalu firman-Nya,
Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (QS. al-An’am, 6:112)
Dan juga firman-Nya,
Artinya, “Dan demikianlah Kami adakan bagi tiap-tiap negeri, penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu-daya dalam negeri itu.” (QS. al-An’am, 6:123)
Melalui tiga ayat ini, Allah Ta’ala telah menggariskan sebentuk ujian keimanan bagi para hamba pilihan-Nya melalui adanya sekelompok penentang kebenaran dan para penyeru kekafiran yang tak hentinya membuat makar.
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
الْمُؤْمِنُ بَيْنَ خَمْسِ شَدَائِدَ: مَؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ, وَ مُنَافِقٌ يُبْغِضُهُ, وَ كَافِرٌ يُقَاتِلُهُ, وَ نَفْسٌ يُنَازِعُهُ, وَ شَيْطَانٌ يُضِلِّهُ.
Artinya, “Orang mu’min senantiasa berhadapan dengan lima ujian yang menyusahkan, yaitu:
- oleh mu’min yang mendengkinya,
- oleh munafik yang selalu membencinya,
- oleh kafir yang selalu memeranginya,
- oleh nafsu yang selalu bertarung untuk mengalahkannya, dan
- oleh setan yang selalu menyesatkannya.” (Al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithob, 4/181)
2. Didustakan
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS al-An’am, 6:34)
Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat tersebut merupakan penghiburan dan ta’ziyah bagi nabi saw lantaran didustakan oleh kaumnya. Ayat ini juga merupakan perintah bagi beliau saw agar bersabar seperti sabarnya para ulul ‘azmi dan merupakan janji dari Allah yaitu akan diberi pertolongan dan kemenangan seusai didustakan dan disakiti, sebagaimana firman-Nya di surat al-Mujadalah ayat ke-21, “…Aku dan rasul-Ku pasti menang.”
3. Dianggap pembual dan pendongeng
Para ulama robbani seperti juga yang dialami oleh Rasulullah dan para nabi terdahulu, pun mendapat perlakuan yang sangat tidak menyenangkan dari umat yang akidahnya masih dan telah terkontaminasi kesesatan. Mereka menganggap dalil dan hujjah yang disampaikan para du’at merupakan hasil angan-angan dan rekayasa semata. Al-Qur’an dan hadits diremehkan sebagai sesuatu yang dibuat-buat dan dianggap cipta-karya makhluk semata, serta dituduh sebagai alat pemenuh-kepentingan dunia semata. Berikut ayat yang berisi tuduhan-tuduhan keji mereka,
Artinya, “Dan orang-orang kafir berkata, “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS. al-Furqon, 25:4-5)
4. Diejek dan dipermainkan
Zaman memang telah berubah, namun intrik-intrik setan takkan lekang dimakan roda zaman. Keberadaan ulama robbani yang merupakan pewaris para nabi dan sejatinya dimuliakan lagi diikuti, pun kini tak jauh berbeda dengan nasib para ulama di masa lalu. Seruan mereka mengajak umat kepada kebenaran yang hakiki, dianggap lelucon yang pantas ditertawakan. Ancaman mereka yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah bagi yang menolak dan berpaling untuk mengikuti syari’at, disikapi dingin seolah ancaman itu hanya ‘gertak sambal’ semata.
Hujjah orang-orang penolak kebenaran di masa ini hanya terpaut kepada dua hal saja, yaitu setia mengikuti agama nenek-moyang dengan mengatakan ( حَسْبُنَا مَا وَ جَدْنَا عَلَيْهِ أَبَاءَنَا ) “cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek-moyang kami mengerjakannya…” (QS. al-Ma’idah, 5:104) dan berpendapat bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah sudah tak sejalan lagi dengan perkembangan zaman. Pribadi-pribadi berwatak seperti ini akan selalu eksis dan menjadi batu ujian bagi para du’at. Allah Ta’ala menyebutkan karakter seperti ini dalam firman-Nya,
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Mutaffifin, 83:29)
Dan firman-Nya,
Artinya, “Alangkah besarnya penyesalan terhadap para hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Yasin, 36:30)
Selain itu, mereka para penolak kebenaran–tak sungkan-sungkan melabeli para warosatul anbiya ini dengan gelaran wong gendheng alias orang yang gila. Bahkan kejahilan tersebut mereka sampaikan langsung ke diri Rasulullah saw, seperti pada firman-Nya,
Artinya, “Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. al-Hijr, 15:6)
Perhatikan juga perkataan mereka di ayat berikut,
Artinya, “Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. adz-Zariyat, 51:52-53)
Namun demikian, hamba-hamba-Nya yang terpilih akan terus gencar menyampaikan risalah kenabian meski mental mereka senantiasa dilemahkan pihak-pihak yang memusuhinya.
5. Didebat dengan kebatilan
Bentuk rintangan berikutnya adalah penolakan melalui berbagai hujjah yang mengandung kebatilan. Para munafiqin ini, terutama yang memiliki kekuasaan—cekatan memilih dan ‘menggunakan’ para ulama yang masih mempunyai kecenderungan kepada keduniaan untuk menyebarkan opini-opini sesat mereka kepada umat.
Para ulama penyesat umat ini bahkan tak segan-segan mengeluarkan fatwa demi legitimasi syar’i sehingga pemberlakuan undang-undang positif yang berseberangan dengan syari’at Islam menjadi legal. Alhasil, para masyayikh moderat ini mempresentasikan dien Islam secara serampangan tanpa dalil yang syar’i. Perkara ini persis seperti yang telah Allah Ta’ala kemukakan dalam firman-Nya,
Artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” (QS. al-Kahfi, 18:56)
Ad-Darimi meriwayatkan, Ziad bin Hudair berkata, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, “Tahukah engkau apa yang akan merusak Islam?” Aku menjawab, “Tidak tahu.” Lalu beliau berkata, “Yang akan merusaknya adalah kekeliruan seorang ulama, perdebatan kaum munafik terhadap al-Qur’an, dan berkuasanya para pemimpin yang menyesatkan.”
6. Dituduh menipu-daya
Sifat bawaan setan dan para pengikutnya diantaranya adalah pandai menipu-daya. Sifat ini merupakan senjata andalan sejak iblis menipu Adam dan istrinya di surga dahulu. Keadaan ini juga mereka putar-balikkan sehingga para ulama robbani justru yang dituduh telah memperdaya umat dengan penyampaian materi-materi dakwahnya yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan kaum sesat tersebut.
Dari golongan manusia yang disebutkan al-Qur’an, ada Fir’aun yang menganggap nabi Musa as telah menipu kaumnya, lalu Fir’aun berhujjah bahwa petunjuknya lah yang benar.
Artinya, “(Musa berkata), “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!” Fir’aun berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” (QS. al-Mu’min, 40:29)
Begitu juga makar yang ditujukan para tukang sihir Fir’aun terhadap nabi Musa as dan Harun as dengan menuduh keduanya telah melakukan tipu-daya sihir kepada Fir’aun guna merebut kekuasaan.
Artinya, “Mereka berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS. Thaha, 20:63)
Kedekatan para ulama ‘bayaran’ terhadap penguasa thaghut di masa ini sudah bukan rahasia umum lagi, maka disanalah loyalitas sosok ulama robbani berperan yaitu gigih memperjuangkan dakwah di jalan yang telah digariskan-Nya dan tegar dalam menghadapi segala perkara yang menyeleweng dari shirathal mustaqim.
7. Dilarang berdakwah
Alangkah besarnya musibah tatkala seorang du’at melaksanakan dakwahnya dengan didasari pendiktean dari pihak penguasa. Ia menjadi tawanan bagi setiap keinginan sang penguasa dan senantiasa berupaya untuk tidak menyelisihi keinginan mereka. Syari’at yang dianggap aneh oleh khalayak awam dan dirasa tak kompeten lagi terhadap perubahan zaman, mereka substitusi dengan fatwa hasil ‘ijtihad’ hawa-nafsu mereka.
Keadaan ini tentu saja amat bertolak-belakang dengan fungsi para du’at sesungguhnya yaitu sebagai penyampai dalil syari’at yang haq. Oleh sebab itu, para ulama Robbani yang bernaung dibawah panji-panji syari’at dipersempit ruang geraknya dalam berdakwah, bahkan penguasa dan pihak yang bersangkutan dengannya, tak malu lagi untuk ‘mengisolasi’ geliat dakwah para du’at lurus ini.
Perhatikan berita yang berkaitan dengan perkara ini; beberapa waktu lalu ketua BNPT Anshad Mbaai sempat mengusulkan kepada pemerintah untuk dikeluarkannya sertifikasi ulama di Indonesia. Ide nyeleneh tersebut diluncurkan tak lain untuk menjegal para ulama yang dianggap radikal dan anti bekerja-sama dengan penguasa demi kelanggengan otoriternya.
Rintangan ini bak sebuah pelengkap bagi aksi penjegalan yang sudah lebih dulu ‘disosialisasikan’ di masa sebelumnya yaitu melarang para ulama ‘tertuduh’ tersebut untuk menyampaikan dakwahnya di masjid-masjid, di mimbar-mimbar Jumat, atau di media-media massa. Risalah ini serupa dengan yang terjadi di masa Rasulullah saw,
Artinya, “Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (QS. al-Munafiqun, 63:7)
8. Dituduh sesat
Rintangan lainnya yang lazim dihadapi para du’at adalah dengan mengalami tuduhan menyebarkan pemahaman sesat. Hal ini merupakan ‘lagu lama’ yang diputar-balikkan umat yang masih awam namun tak berusaha keluar dari kejahiliaannya kepada para du’at tersebut. Terlebih para du’at yang menjalani medan dakwah dengan menyambangi umat ke pelosok-pelosok wilayah yang hampir tak terjamah pemerataan pembangunan pemerintah.
Sulitnya menjangkau keberadaan mereka, ditambah ‘proyek’ pemerintah yang telah menjadikan mereka sebagai ‘cagar alam’ yang harus dijaga kelestarian budayanya, adat-istiadatnya, beserta ‘keunikan’ cara beragamanya. Tak ayal lagi menambah rentang jarak yang harus dilalui para du’at untuk melakukan dakwahnya. Namun tak hanya umat yang tersebar di pelosok, keadaan umat di perkotaan pun tak beda mirisnya. Mereka terkontaminasi kebudayaan luar yang tak kalah bahayanya.
Akibatnya, mereka menolak dalil haq dengan HAM, mencurigai para ulama bak perintang kebebasan berekspresi mereka, dan menuduh petunjuk dinullah sebagai sebuah kesesatan.
Dalam sejarah, kaum Syu’aib pun melaungkan kebenaran sebagai suatu kesesatan yang pantas dijauhi.
Artinya, “Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya), “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf, 7:90)
Demikian juga yang dilakukan Fir’aun laknatullah kepada rasul-Nya, Musa as.
Artinya, “Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. al-Mu’min, 40:26)
9. Dituduh memecah-belah umat
Ujian berupa tuduhan sebagai pemecah-belah umat juga ‘lazim’ diterima para ulama robbani. Mereka yang mengusung dakwah yang bersumber dalil al-Qur’an dan as-Sunnah harus menerima resiko berupa penolakan umat yang awam dan kaum munafik. Isi dakwahan yang banyak meluruskan kesalahan umat disalah-artikan umat sebagai upaya dalam menghapus bentuk peribadahan yang sudah terbiasa dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu mereka.
Keawaman yang ingin diubah para du’at menjadi kefaqihan, malah dipertahankan demi menjaga warisan nenek-moyang dalam beragama. Dalam firman-Nya, Allah menceritakan hal serupa yang dilakukan oleh Fir’aun berikut dengan cara antisipasi kejinya,
Artinya, “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Fir’aun menjawab:, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh diatas mereka.” (QS. al-A’raf, 7:127)
10. Dituduh “teroris”
Allah Ta’ala berfirman tentang prilaku para musuhnya dalam memerangi Islam dan para utusan-Nya,
Artinya, “Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. al-Mu’min, 40:26)
Terpatri pada diri setiap ulama rabbani dan juga pada diri setiap penuntut ilmu untuk tercapainya tujuan dakwah yang beroleh ridha Illahi. Telah berkata Aisyah ra tentang sabda Rasulullah,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسِ وَ مَنِ الْتَمَسَ رِضَى النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ.
Artinya, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia murka kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban, Mawaridh adh-Dham’an; 1542)
Tercatat dalam shirah para nabi dan para sholafush sholih terdahulu adalah didapati bahwa barisan terbesar para penentang agama Allah Ta’ala adalah para pembesar kerajaan dan para ahli yang mengelilinginya. Di zaman ini, pemerintah dan para petinggi negaralah yang mewarisi sifatnya.
Karena dengan kekuasaan, mereka leluasa memilah ‘oknum’ yang dianggap sejalan dengan kepentingannya dan dengan tampuk kepemimpinan berada di tangan, maka mereka mampu memaksakan kehendak dalam roda pemerintahannya. Perkara ini menjadi suatu momok yang menakutkan para pendakwah. Itu sebabnya tak semua du’at berani mengambil resiko ini. Hanya mereka yang gigih mengikuti bentuk perjuangan dakwah para nabi yang mampu mengatasinya. Terdapat suatu hadits berkenaan dengan ini,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Artinya, “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat yang benar dihadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (HR. Abu Daud dan At Trmidzi)
Sayyid Quthb dalam kitab Ma’alimun fith-Thoriq mengatakan “Sesungguhnya kemenangan dalam bentuk yang tertinggi ialah kemenangan rohani atas materi, kemenangan akidah atas segala rasa sakit, kemenangan atas semua bentuk ujian, siksaan, dan godaan. Sebuah kemenangan yang akan memuliakan setiap manusia, inilah kemenangan yang hakiki.”
Perlakuan kaum kafir dan munafik saat ini terhadap para ulama robbani dan para mujahid fi sabilillah sudah berada pada tingkat yang mengundang laknat Allah Ta’ala. Para pembuat makar yang juga menjadi antek-antek kafir asing itu kian membabi-buta berusaha membabat habis para penegak agama Allah. Sejuta aksi dan fitnah mereka layangkan demi menutup lisan para du’at. Diantaranya dengan tuduhan keji sebagai pelaku teror, sebagai pengikut aliran ekstrim, atau sebagai penganut Islam radikal. Semua julukan itu dilimpahkan agar para du’at menjadi gentar untuk meneruskan dakwah haqnya dan agar umat berpaling serta mengasingkannya.
11. Disiksa agar kembali kafir
Penyiksaan adalah salah-satu ujian yang biasa dialami para ulama robbani dalam mengusung dakwah yang haq. Ujian ini begitu berat bahkan sampai terkadang harus mengalami terpisahnya ruh dari badan. Makar yang kejam ini dilakukan oleh jiwa-jiwa yang sudah meleburkan-dirinya bersama setan laknatullah sehingga hati-nurani dan kefitrahan yang dianugerahkan kepadanya menjadi terkontaminasi dan mati. Allah azza wa jalla menjelaskan,
Artinya, “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.” (QS. al-Mumtahanah, 60:2)
Begitu juga firman-Nya,
Artinya, “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah..” (QS. an-Nisa’, 4:89).
Para nabi dan para sholafush sholih banyak mengalami rintangan seperti ini. Mereka ada yang dibakar, ada yang dikuliti hingga terlihat daging dan tulangnya, ada yang ditindih dengan batu besar di padang pasir nan terik, ada yang dibui tanpa diberi makan, dan beragam siksaan lainnya. Namun iman mereka kepada Rabbul ‘alamin tetap terpelihara dalam jiwa-jiwa yang tenang dan yakin akan janji-Nya. Ketakutan manusiawi yang dirasakan dalam menghadapi siksaan dari makhluk, tak ada bandingannya dengan ketakutannya terhadap Allah Ta’ala apabila berlaku khianat dalam dakwah kepada umat. Seperti yang Allah Ta’ala firmankan,
Artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir, 35:28)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa para ulama adalah orang yang memiliki rasa takut kepada-Nya dengan sepenuh makna. Meski rasa takut kepada Allah azza wa jalla juga dimiliki oleh kaum mukminin secara umum, namun rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para nabi, rasul, dan para ulama robbani.
12. Difitnah agar meninggalkan dakwah yang haq
Ulama, hakikinya adalah mereka yang mewarisi sifat para nabi dalam berdakwah, beramar-ma’ruf, dan bernahi-munkar. Mereka berjihad di jalan Allah dan mampu menerima segala resiko yang mengancam demi tercapainya tujuan dakwah. Di tengah usaha dakwah mereka, mungkin akan mengalami tekanan berupa infiltrasi atau campur-tangan kaum munafik yang menginginkan arah dakwah tak terlalu ‘keras’ menghantam berbagai kepentingan dunia penguasa dan kroni-kroninya.
Mereka (kaum munafik) akan berupaya ‘merangkul’ dan menghibahkan bermacam kesenangan dunia agar semangat dakwah para ulama robbani menjadi kendor dan ketaklukan terhadap penguasa bisa terjadi. Dalam satu firman, Allah Ta’ala berkata,
Artinya, “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (QS. al-Qolam, 68:9-10)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Ibnu Abbas ra menjelaskan ayat diatas bahwa jikalau seorang mu’min memberikan suatu keringanan (dalam masalah syari’at) kepada orang munafik, maka orang munafik itu akan memberikan keringanan pula kepadanya. Sebaliknya, jika seorang mu’min menegakkan suatu perkara diatas syari’at, maka kaum munafik pun akan menegakkan makarnya menentang dalil tersebut.
13. Diancam, ditangkap, dipenjarakan, disiksa, atau dibunuh
Berikut beberapa ayat yang bisa dijadikan contoh beberapa makar hizbussyaiton terhadap para utusan Allah,
Allah SWT berfirman:
Artinya, “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.” Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu.” (QS. Ibrahim, 14:13)
Artinya, “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (QS. al-Kahfi, 18:20)
Artinya, “Mereka menjawab,”Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS. Yasin, 36:18)
Artinya, “Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (QS. al-Anbiya, 21:68)
Artinya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu-daya dan Allah menggagalkan tipu-daya itu dan Allah sebaik-baik pembalas tipu-daya.” (QS. al-Anfal, 8:30)
Ditangkap, diusir, dilempari batu, dirajam, dibakar, hingga dibunuh—itulah beberapa siksaan fisik yang lazim menyertai para pendakwah di jalan Allah. Kerasnya siksaan dan pedihnya penderitaan yang dialami tak jua mengikis kekokohan perjuangannya dalam membumikan kalimat tauhidullah. Tak terbetik sedikitpun bagi mereka untuk sudi mengikuti makar kaum munafikin dalam upaya menyesatkan umat dari petunjuk yang hakiki, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Baginya hanya ada dua pilihan; Hidup dalam kemuliaan atau mati dalam kesyahidan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika ada ulama yang meninggalkan apa yang ia ketahui dari al-Qur’an dan as-Sunnah, lalu mengikuti kehendak pemerintah yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah murtad keluar dari Islam menjadi kafir, dan berhak mendapatkan hukuman setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.” (Majmu Fatawa’ Ibnu Taimiyyah, jilid ke-35, hal. 372-373)
Begitu pula apa yang disabdakan oleh Rasulullah dalam riwayat Tsauban,
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِيْنَ.
Artinya, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para imam yang menyesatkan.” (HR. Muslim)
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjaga keistiqomahan para du’at dalam menjaga kemurnian dinullah serta membimbing para tholabul ‘ilmi untuk ikut-serta mendawamkan kebenaran yang hakiki ini sepenuh kemampuan yang dimiliki. Wallahul musta’an. Semoga bermanfa’at.
Wallahu’alam bish shawab…
____________________________________________
Oleh: Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman
Sumber: http://abujibriel.com