GORONTALO (Arrahmah.com) – Banyaknya kasus kebocoran soal, sms jawaban soal, ditangkapnya joki Ujian Nasional (UN), hingga kasus siswa yang bunuh diri karena depresi yang disebabkan UN, membuat UN dinilai tak lagi mampu mencapai tujuan yang diharapkan yakni meningkatkan kualitas belajar siswa namun sebaliknya, UN hanya semakin menurunkan moral bangsa.
Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur penentu kelulusan, yang pada akhirnya memicu dilumrahkannya perbuatan curang yang dilakukan baik oleh siswa maupun guru. Hal tersebut membuat konsep UN dinilai lebih cenderung merusak mental kalangan guru serta siswa daripada meningkatkan kualitas pendidikan.
Pendapat ini dikemukakan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan Provinsi Gorontalo, Elnino M.Hussein Mohi, Selasa (10/5/2011) seperti yang diberitakan Antara.
“UN sebagai standar kelulusan, pada akhirnya memicu guru untuk berbuat curang, karena ditekan oleh Bosnya, ya Kepala daerahnya sendiri. Merusak mental para siswa, karena di setiap Ujian Nasional , kecurangan yang dilakukan itu ternyata disepakati, seolah-olah kecurangan seperti mencontek adalah hal lumrah. Kalau curang sudah jadi kewajiban, apa namanya itu kalau bukan perusakan mental,” ungkap Elnino.
Menurut Elnino, sebaiknya UN Nasional hanya dijadikan pemetaan tingkat pendidikan saja, sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk menanggulanginya. Dengan pemetaan tersebut, lanjutnya, pemerintah dapat segera mencari jalan keluar, terutama bagi daerah-daerah yang masih tertinggal.
“Jika sudah begini konsepnya, maka pemerataan pendidikan bisa terwujud dengan lebih efisien,” kata dia.
Pria yang sebelumnya dikenal sebagai jurnalis dan kolumnis ini, mengaku cukup prihatin dengan pelaksanaan UN, yang hingga kini masih meninggalkan banyak persoalan yang belum mampu dijawab.
Sebagai contoh, kasus kebocoran soal yang terjadi, termasuk di Gorontalo. Menurutnya hal tersebut merupakan gambaran bahwa pelaksanaan UN tidak bisa lagi jadi penentu kelulusan siswa.
Mungkin ini adalah pekerjaan bagi para pemimpin kita yang bertugas dalam ranah pendidikan. Pergantian kurikulum dan sistem pendidikan yang membuat siswa maupun guru jadi makin bingung namun nyatanya tak berdampak bagi kemajuan pendidikan itu sendiri. Padahal anggaran untuk pendidikan tidak bisa dibilang sedikit. Belum lagi permasalahan kesejahteraan guru yang seolah tak berniat untuk diselesikan.
Kami (rakyat) masih menunggu dan terus menunggu formula pendidikan yang memanusiakan peserta didik, sehingga kelak mereka dapat melangkah di atas bumi Allah dengan kepercayaan dan keyakinan akan tujuan hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. (rasularasy/arrahmah.com).