ABU DHABI (Arrahmah.id) – Uni Emirat Arab membantah mempersenjatai Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces/RSF) dalam perangnya melawan tentara Sudan, Financial Times melaporkan, setelah sebuah laporan PBB yang bocor mengatakan bahwa mereka memiliki bukti “kredibel” bahwa negara Teluk tersebut memberikan dukungan militer kepada kelompok paramiliter tersebut.
Menurut dokumen PBB tersebut, bukti-bukti menunjukkan bahwa UEA telah mengirimkan senjata kepada RSF “beberapa kali dalam sepekan” melalui Amdjarass di Chad utara.
UEA “tidak memihak dalam konflik saat ini,” kata seorang pejabat Emirat pada Rabu (24/1/2024) kepada surat kabar Inggris. Negara ini telah “secara konsisten menyerukan de-eskalasi, gencatan senjata yang berkelanjutan dan inisiasi dialog diplomatik” di Sudan, kata sumber tersebut, lansir Al Jazeera.
Laporan PBB, yang belum dipublikasikan, disusun oleh para ahli untuk Dewan Keamanan PBB.
Dalam sebuah surat kepada para pemantau, UEA mengatakan bahwa 122 penerbangan telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Amdjarass untuk membantu warga Sudan yang melarikan diri dari perang.
Pekan lalu, seorang pejabat UEA mengatakan kepada Reuters bahwa pihaknya menyampaikan undangan kepada para pemantau PBB untuk mengunjungi rumah sakit lapangan di Amdjarass “untuk mempelajari secara langsung upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh UEA untuk membantu meringankan penderitaan yang disebabkan oleh konflik yang terjadi saat ini”.
RSF, yang dipimpin oleh Mohamad Hamdan Dagalo, telah terlibat dalam perang brutal melawan tentara negara itu, yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan, selama lebih dari sembilan bulan. Perang ini telah menyebabkan sekitar setengah dari 49 juta penduduk Sudan membutuhkan bantuan, dan lebih dari 7,5 juta orang telah meninggalkan rumah mereka, menurut PBB.
Dagalo menguasai sebagian besar wilayah barat Sudan, Darfur, dan beberapa bagian ibu kota Khartoum. RSF baru-baru ini juga menguasai Wad Madani, salah satu kota besar di Sudan.
Kelompok paramiliter ini telah dituduh, bersama dengan kelompok-kelompok bersenjata Arab, telah membunuh hingga 15.000 orang non-Arab dari suku Masalit dalam serangan-serangan yang “dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian bunyi laporan tersebut.
RSF sebelumnya telah membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa setiap tentaranya yang terbukti terlibat akan diadili.
“Serangan-serangan tersebut direncanakan, dikoordinasikan, dan dieksekusi oleh RSF dan milisi-milisi Arab sekutunya,” tulis para pemantau sanksi dalam laporan tahunan mereka kepada Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara.
Pada Desember, Amerika Serikat secara resmi menetapkan bahwa pihak-pihak yang bertikai di Sudan melakukan kejahatan perang dan bahwa RSF serta milisi-milisi yang bersekutu dengannya juga telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis.
Laporan PBB mengatakan bahwa “jaringan keuangan yang kompleks yang dibentuk oleh RSF sebelum dan selama perang memungkinkannya untuk memperoleh senjata, membayar gaji, mendanai kampanye media, melobi, dan membeli dukungan dari kelompok-kelompok politik dan bersenjata lainnya”. (haninmazaya/arrahmah.id)