ABU DHABI (Arrahmah.com) – Muslim harus menjadi teladan di masyarakat di mana mereka tinggal dan harus menumbuhkan perdamaian, cinta dan menghormati orang lain. Mereka juga harus mencegah orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan dan ekstremisme, menteri Uni Emirat Arab mengatakan pada konferensi minoritas Muslim pertama di Abu Dhabi pada Selasa (8/5/2018).
“Sebagai Muslim, kita harus berpikir untuk membuka jalur komunikasi aktif dengan anggota agama lain untuk membahas masalah-masalah yang mempengaruhi semua dan menghasilkan solusi yang langgeng,” Sheikh Nahyan bin Mubarak Al Nahyan, Menteri Toleransi UEA, mengatakan dalam pidato utamanya di Kongres Komunitas Muslim Internasional (IMMC).
Konferensi yang bertajuk ‘Masa Depan Minoritas Muslim: Peluang dan Tantangan’ selama dua hari ini konon bertujuan untuk mengonsolidasikan nilai-nilai toleransi dan dialog antara berbagai komponen agama dan budaya masyarakat, menjadikan dunia tempat yang lebih baik bagi generasi masa depan, dan melindungi mereka dari arus kekerasan dan ekstrimis. Lebih dari 400 tokoh Islam terkemuka dari 130 negara menghadiri konferensi yang ditujukan untuk mencari solusi bagi masalah-masalah seperti marjinalisasi dan pencabutan hak atas sekitar setengah miliar Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim.
Nahyan mendesak umat Islam untuk aktif dalam perang melawan radikalisme. Toleransi, kedamaian dan koeksistensi di antara orang-orang dari berbagai agama dan latar belakang etnis adalah kunci untuk keamanan dan pembangunan, dan harus dipeluk oleh semua bangsa, ia menekankan.
“Hari ini kita melihat ribuan orang terlantar dan yang lain di kamp-kamp pengungsi akibat konflik yang dilatarbelakangi oleh hilangnya toleransi,” kata Nahyan.
“UEA menghargai dan mendukung toleransi dan ko-eksistensi di antara orang-orang dari berbagai agama dan latar belakang etnis karena itulah yang diajarkan Islam. Pikiran positif yang didasari cinta dan toleransi adalah faktor kunci dalam membangun dan menciptakan perdamaian dunia,” tambahnya.
Sementara itu, Rexhep Meidani, mantan presiden Albania, mengatakan minoritas Muslim di negara-negara Barat menghadapi masalah identitas budaya karena diskriminasi dan tidak diterima oleh orang-orang dari agama lain.
“Ini sangat menantang karena sebagian Muslim kadang-kadang harus berkompromi dengan ajaran dan nilai-nilai agama mereka dan beradaptasi dengan mayoritas sehingga mereka dapat berintegrasi dalam masyarakat.”
Meidani menyarankan bahwa harus ada pendekatan multikultural untuk menciptakan persatuan dan berbagi pengertian bersama di antara masyarakat selain kebijakan imigrasi yang setara di negara-negara Barat.
“Bangsa-bangsa juga perlu menciptakan peluang yang sama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan memberi mereka pendidikan. Para minoritas Muslim harus diajak berkonsultasi dalam pembuatan kebijakan untuk mendapatkan pandangan dan pendapat mereka,” katanya.
Dr Tariq Al Kurdi, ketua Konferensi PBB tentang Isu-isu Minoritas Dunia – Swiss, mengatakan bahwa Muslim di negara-negara non-Muslim menghadapi banyak tantangan, baik dalam hal pendidikan atau layanan publik lainnya, tetapi tantangan terbesar bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat.
“Sementara umat Islam di beberapa bagian dunia hidup dalam damai dan harmoni dan telah berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat, yang lain menghadapi masalah diskriminasi atau terisolasi dan tidak diterima oleh masyarakat di mana mereka tinggal,” kata Al Kurdi.
“Umat Islam harus diakui dan disertakan dalam pengembangan komunitas. Muslim minoritas perlu menjaga martabat di antara masyarakat mereka dan harus selalu percaya diri bahwa mereka dapat membuat perubahan positif.”
Para pembicara mengatakan dengan prevalensi Islamofobia di banyak bagian dunia, yang merongrong kepercayaan di kalangan minoritas Muslim, mendorong propaganda kebencian, dan meningkatkan tuduhan yang menunjukkan bahwa ‘Islam menentang perdamaian’.
“Ada kebutuhan untuk melawan tuduhan ini dengan menyoroti Islam sebagai visi perdamaian global,” tegas mereka. (Althaf/arrahmah.com)