JAKARTA (Arrahmah.com) – Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai rezim Joko Widodo kejam karena mengecilkan jumlah testing di tengah kasus penyebaran virus Covid-19 semakin mengganas.
“Jika kita mencermati data resmi dari Satgas Covid saya kok melihat pemerintah ini terlihat kejam ya,” kata Ubedilah Badrun, lansir RMOL, Senin (19/7).
Ubedilah menambahkan, saat dicermati data positif Covid-19 pada 15 Juli, jumlah konfirmasi positif lebih dari 56 ribu dengan jumlah testing 250 ribu dan positivity rate-nya 41 persen.
Selanjutnya pada 16 Juli, jumlah konfirmasi positif lebih dari 54 ribu dengan jumlah testing 250 ribu dan positivity ratenya 46 persen.
Lalu pada 17 Juli, jumlah konfirmasi positif lebih dari 52 ribu dengan jumlah testing 250 ribu dan positivity rate-nya 40 persen.
Akan tetapi pada 18 Juli, jumlah konfirmasi positif lebih dari 44 ribu dengan jumlah testing 190 ribu dan positivity rate-nya 47 persen.
“Data di atas menunjukan bahwa jumlah testing dikurangi secara drastis. Ini berarti jika tidak dikurangi jumlah testing-nya maka sesungguhnya memungkinkan kasus positif dan kematiannya jauh lebih besar dari data yang dipublikasi,” kata Ubedilah.
Ubedilah pun lantas mempertanyakan alasan pemerintah mengurangi jumlah testing yang dilakukan.
“Problemnya mengapa jumlah testingnya dikurangi? Kurang biaya? padahal anggaran untuk penanggulangan covid terus naik. Bahkan tahun ini naik dari Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun, bertambah Rp 45,32 triliun,” jelas Ubedilah.
Ubedilah menilai rezim Jokowi kejam karena anggaran naik, tetapi jumlah testing terus dikurangi.
“Sebab jika data kurang aktual dan kurang valid risikonya strategi penanganan bisa keliru dan itu membahayakan keselamatan warga negara. Kejam!” pungkas Ubedilah.
(ameera/arrahmah.com)