JAKARTA (Arrahmah.com) – Satu kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang akan berlanjut pada maksiat berikutnya. Demikian pula yang terjadi pada uang hasil merampok uang rakyat digunakan untuk pelacuran.
End Child Prostitution Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia meyakini adanya aliran dana korupsi yang digunakan pelaku tindak pidana korupsi untuk membeli seks anak. Pelaku memanfaatkan jasa perbankan atau transaksi elektronik untuk membayar jasa seks anak seperti video pornografi anak.
Keyakinan itu dilandasi pengamatan ECPAT Indonesia selama ini. Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, dikutip dari hukumonline.com, menyampaikan keyakinan itu sebelum berlangsungnya workshop ‘Peran Institusi Keuangan dalam Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak‘ di Jakarta, Jum’at (29/8/2014) pagi.
ECPAT adalah lembaga lintas negara yang mengadvokasi pengakhiran eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Workshop ini dilaksanakan ECPAT dan lembaga advokasi sejenis, Terre des Hommes.
Pelakunya, jelas Sofian, punya jabatan dan tersandung perkara korupsi. Cuma, pelaku dihukum bukan karena kejahatan eksploitasi seks anak, melainkan karena korupsi. “Ada pejabat publik,” kata Sofian. Demi alasan etika, ia tak menyebut spesifik identitas pejabat publik dimaksud.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ternyata juga sudah mencium adanya sejumlah transaksi keuangan yang diduga melibatkan jaringan mafia pedofilia di Indonesia. “Sudah ada kasusnya,” kata Budi Saiful Haris, pejabat Penghubung Kerjasama Pertukaran Informasi PPATK.
Menurut Budi, PPATK sudah menaruh perhatian pada transaksi mencurigakan berkaitan dengan kejahatan seks, termasuk transaksi penjualan video eksploitasi seksi anak. “PPATK berkepentingan untuk ikut membongkar kasusnya,” tegas Budi.
Namun, membongkar transaksi kasus eksploitasi seks anak melalui perbankan dan jasa keuangan lainnya tidak semudah membalik telapak tangan. Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sugeng Hariyanto, Kanit IT dan Cyber Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri, menjelaskan tak mudah membongkar kasusnya. “Pelaku sering berpindah-pindah tempat,” ujarnya.
Berdasarkan pemantauan kepolisian, setidaknya 200 IP address di Indonesia yang mengakses pornografi setiap hari. Meskipun tak semua mengakses eksploitasi seks anak, tetapi angka itu mencerminkan potensi penyalahgunaan teknologi informasi untuk kejahatan seksual. Dikatakan sulit karena faktanya hanya ada satu dua kasus yang bisa dibongkar setiap tahun. Pada 2013 misalnya hanya ada 3 kasus, tahun sebelumnya malah hanya satu kasus.
Ahmad Sofian berharap perbankan dan lembaga penyedia jasa keuangan lainnya menaruh kepedulian terhadap transaksi jual beli seks anak yang menggunakan teknologi dan fasilitas jasa keuangan seperti anjungan tunai mandiri (ATM). “Sektor perbankan dan institusi keuangan perlu menyusun langkah-langkah strategis untuk menghentikan transaksi jual beli seks anak,” harap mahasiswa doktor ilmu hukum Universitas Indonesia itu.
Dari sisi hukum, sudah ada sejumlah Undang-Undang yang bisa dipakai untuk menjerat pelaku. Sugeng menunjuk Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. (azm/arrahmah.com)