JAKARTA (Arrahmah.com) – Jika kita lihat media elektronik yang paling gemar dan terdepan dalam pemberitaan mengenai ‘terorisme’ maka dengan mudah bisa kita nilai yaitu TV one. Lihat saja berbagai liputan-liputan eksklusifnya dari mulai penayangan video latihan militer aceh kemudian detik-detik penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir hingga acara ‘Telusur’ yang memuat pengakuan dari Ustadz Ubeid, Ustadz Haris Amir Falah serta testimoni Ustadz Ghazali (4 Oktober 2010 jam 22.00 malam). Dengan demikian wajar saja jika publik bertanya-tanya jangan-jangan TV one TVnya Densus 88?
Kalau diperhatikan semenjak masuknya Karni Ilyas ke TV One (sebelumnya Lativi) yang menjabat sebagai Pemred TV One begitu concern dengan berbagai acara yang bernuansa berita. Siapa sebenarnya sosok Karni Ilyas ini?
Pria kelahiran Bukit Tinggi 25 September 1952 bernama lengkap Sukarni Ilyas. Pada tahun 1984 ia mendapatkan gelar SH dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Karni Ilyas pernah menjabat sebagai Direktur Pemberitaan di SCTV dan ANTV sebelum menjadi Pemred TV One. Selain itu ternyata berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50/M/V/2006 tanggal 19 Mei 2006 ia diangkat sebagai anggota Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) unsur tokoh masyarakat.
Seperti kita ketahui bahwa KOMPOLNAS adalah lembaga kepolisian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Bisa jadi keberadaan Karni Ilyas di KOMPOLNAS inilah yang menjadikan hubungan Polri (Khususnya Densus 88) dengan TV One terjalin mesra. Maka setiap kali ada penggrebekan kasus ‘teroris’ atau pemberitaan apa pun mengenai kasus ‘teroris’ TV One-lah yang paling pertama mendapatkan gambar video dan menayangkan. Bahkan salah seorang kontributornya yang bernama Ecep S. Yasa kerap menyebut ia mendapatkan informasi itu berasal dari orang dalam yang dapat dipercaya.
Televisi dari group Bakri yang kerap mendapat akses khusus dalam liputan terorisme ini juga gemar menayangkan testimoni para tersangka kasus ‘terorisme’ secara eksklusif dimana wartawan dari media lain apalagi media muslim tidak mungkin mendapatkannya. Seperti dalam acara ‘Telusur’ misalnya, ketika ditayangkan testimoni dari para tersangka ‘teroris’ seperti Ustadz Haris Amir Falah, Ubeid hingga Ustadz Ghazali apakah Polri mengizinkan wartawan lain dari media muslim untuk mewawancarai mereka? Jangankan diwawancara menurut prosedur saja mereka tidak bisa dijenguk kecuali oleh keluarga, inilah bentuk diskriminasi atas media. Ada indikasi jika acara Telusur di TV One ini sepertinya memang di desain guna membangun opini di tengah masyarakat akan keterlibatan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam pelatihan militer di Aceh dan Jama’ah Ansharut Tauhid sebagai institusi yang terlibat di dalamnya. Sehingga outputnya menjadikan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dihakimi sebagai orang yang bersalah di mata masyarakat meski belum disidangkan. Serta melakukan pembusukan terhadap institusi Jama’ah Ansharut Tauhid dimana kelak pada endingnya dijadikan sebagai organisasi terlarang.
Dengan demikian Polri yang dibantu media seperti TV One terlihat begitu sistematis untuk mengarahkan opini publik pada penyesatan informasi dan fitnah terhadap Jama’ah Ansharut Tauhid pada khususnya dan umat Islam pada umumnya. Maka sudah seyogyanya jika di balik redaksi TV One ada orang-orang yang mengaku muslim bahkan dimiliki oleh pengusaha muslim hentikan tayangan-tayangan menyudutkan umat Islam, jangan jual umat Islam hanya demi meraih rating. Jika TV One terus menampilkan tayangan-tayangan tersebut maka jangan salahkan umat Islam jika suatu saat umat Islam memboikot karena menganggap TV One sebagai media yang ikut memusuhi umat Islam. (saveabb/arrahmah.com)