Oleh: Fajar Shadiq / Jurnalis An-Najah.net
(Arrahmah.com) – Drama penangkapan terduga terorisme kini muncul lagi di layar kaca. Namun, kali ini yang menjadi aktornya adalah dua orang yang tinggal di kontrakan dan berbisnis air isi ulang di Jalan Bangka, Mampang, Jakarta Selatan.
Kamis, 2 Mei 2013, sekira pukul 22.00. Aksi penggerebekan dan penangkapan yang dieksekusi oleh tim Densus 88 terlihat sangat heroik di layar kaca. Beberapa barang bukti yang diduga cairan kimia yang berada dalam deretan botol-botol plastik dan jerigen dikeluarkan oleh tim Densus ke depan teras rumah beserta beberapa barang bukti lainnya seperti panci, blender, kabel-kabel dan lainnya tersorot kamera berita.
Liputan eksklusif penangkapan terduga terorisme seperti biasa disuguhkan oleh TV-One. Sejak digawangi oleh Karni Ilyas, sosok yang dikenal akrab dengan Gories Mere, saluran ini banyak mendapat akses eksklusif ke dalam tubuh kepolisian, termasuk mendapat liputan khusus yang tidak didapat stasiun televisi atau media lain khususnya dalam hal perburuan menangkap teroris.
Yang membuat spesial penangkapan semalam, Kamis (02/05/13) adalah momentumnya yang bertepatan dengan akan dilaksanakannya Aksi Solidaritas Umat Islam terhadap Muslim Rohingya yang sedianya akan dilaksanakan pada hari ini, Jumat (03/05/13) di Bundaran HI, Jakarta.
Banyak kejanggalan yang dirasakan oleh para tokoh umat Islam atas penangkapan terduga terorisme semalam. Hal ini juga dinyatakan langsung oleh Bernard Abdul Jabbar, seorang da’i dan tokoh umat Islam yang sekaligus berperan sebagai Korlap Aksi Solidaritas Rohingya. Bernard Abdul Djabbar menilai, ada upaya dari pihak keamanan dan Kedubes Myanmar untuk menggagalkan aksi umat Islam.
Hal itu dapat terlihat dari gerak cepat Densus 88 dalam menyimpulkan penemuan bahan peledak yang ada kaitannya dengan pemboman Kedutaan Besar (Kedubes) Myanmar. Bernard Abdul Djabbar menanyakan, mengapa jam 10 malam dilakukan penggrebekan, namun tiba-tiba Polisi sudah menetapkan terduga mau melakukan pengeboman Kedubes Myanmar. “Ini janggal,” katanya seperti dilansir Islampos.com, Jum’at (3/5/2013).
Sementara itu, sehari sebelum aksi, pihak FUI mengaku didatangi Kapolda Metro Jaya guna memfasiltasi pertemuan dengan pihak Kedubes Myanmar. Namun, FUI menolak ajakan itu. Sebab pihak Kedubes hanya membatasi tiga orang perwakilan umat Islam dalam pertemuan, sedangkan FUI ingin datang bersama massa umat Islam.
Momentum penangkapan terduga teroris
Kejanggalan-kejanggalan dalam penangkapan terduga teroris bukan kali ini saja terjadi dalam “proyek pemberantasan terorisme di Indonesia”. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh AM Muslih di situs berita Islam voa-islam.com, ia memaparkan banyak kejanggalan dalam penangkapan terorisme yang selalu bertepatan dengan agenda atau momen besar. Misalnya dalam kasus pengerebekan terduga pelaku terror di Solo dan meledaknya sebuah bom di rumah Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara pada tahun 2011, saat itu bertepatan dengan peristiwa peringatan 10 tahun Black September, peristiwa runtuhnya gedung WTC di AS pada 11 September 2001.
Sebelumnya tahun 2010, kesuksesan penumpasan Dulmatin oleh Densus 88 juga pas dengan suhu politik sedang panas. Hasil Pansus Century yang dikukuhkan dalam Paripurna DPR, di mana Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani pun dinilai sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, isu pemakzulan pun bertiup kencang
Kemudian, mundur lagi setahun sebelumnya, pada 2009, ada ledakan bom yang terjadi di hotel JW Mariott dan Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, tepat ketika pihak-pihak yang sedang mempermasalahkan jumlah kecurangan pemilu melalui saksi-saksi yang tergabung dalam timsukses JK-Win dan Mega-Pra (pada tanggal 20 Juli saksi JK-Win menolak menandatangani kesaksiannya, dan tanggal 21 Juli menyusul saksi Mega-Pra juga menolak kesaksiannya).
Jadi, tepatnya kejadian penangkapan teroris dengan adanya isu-isu besar di negeri ini bukan hanya isapan jempol belaka. Tapi, sudah berulang kali dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan.
Kejanggalan TV-One dalam Penangkapan di Jalan Bangka
Saat peristiwa penangkapan semalam, saya sempat mengikuti liputan eksklusif yang disuguhkan oleh TV-One dan menemukan adanya beberapa keganjilan-keganjilan terkait penangkapan tersebut. Siaran eksklusif yang disiarkan oleh TV-One ini dipandu oleh Ecep S. Yasa, reporter yang biasa meliput aksi-aksi terkait terorisme. Tak kurang dari 20 menit Ecep S Yasa berbicara di layar kaca untuk menjelaskan kepada pemirsa betapa berbahayanya terduga teroris yang ditangkap saat itu.
Ecep S. Yasa pada saat melaporkan reportasenya kepada pemirsa seakan sudah mengerti dan mendalami para terduga terorisme yang baru saja ditangkap. Pertama, ia sudah menjustifikasi tanpa ada pendalaman dan interogasi sebelumnya kepada para terduga yang ditangkap di Jalan Bangka bahwa para terduga ini motif aksinya dilakukan untuk solidaritas terhadap Muslim Rohingya. Bagaimana Ecep sang jurnalis, bisa lebih tahu niat dan motivasi seseorang daripada polisi yang baru saja melakukan tindak penangkapan.
Kedua, Ecep S. Yasa sudah berani mengatakan bahwa terduga teroris yang ditangkap ini adalah bagian dari jaringan Farhan yang pada Agustus 2012 lalu dianggap melakukan aksi penembakan dan pelemparan granat di Solo. Padahal beberapa saat kemudian, Boy Rafli Amar selaku Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri di Tv One maupun di Metro TV menyatakan belum ada indikasi yang jelas bahwa terduga yang ditangkap di Jalan Bangka terkait dengan jaringan teroris yang sudah ada atau merupakan jaringan baru.
Dalam hal ini, Ecep S. Yasa telah melakukan kebohongan publik dalam melakukan tugas jurnalistiknya, ia sudah mendahului polisi dan jaksa dalam menghakimi seseorang telah terlibat dan merupakan bagian dari jaringan terorisme yang ada di Indonesia.
Demikianlah adanya, sandiwara dan proyek “pemberantasan terorisme” di Indonesia belakangan ini terlihat semakin hiperbolis dan cenderung memaksakan “fakta”. Entah sampai kapan ini berakhir, yang jelas umat Islam juga tak akan tinggal diam. Jika aspirasi umat Islam seperti pada gencarnya pembubaran Densus 88 beberapa waktu yang lalu dikebiri, sementara pihak kepolisian terus melakukan kezaliman dengan melakukan rekayasa fakta, penangkapan, penindakan yang sewenang-wenang bahkan hingga pembunuhan atas muslim yang tak berdosa. Allah Swt. mesti memiliki rencana besar di balik ini. Wallahu a’lam..
(samirmusa/arrahmah.com)