DAMASKUS (Arrahmah.com) – Stasiun TV Al-Jazeera pada Kamis sore (25/10) melaporkan pernyataan resmi mujahidin Jabhah Nuhsrah dan mujahidin Ansharul Islam yang menolak kesepakatan gencatan senjata dengan rezim Suriah.
Kesepakatan gencatan senjata ditanda tangani oleh pimpinan FSA dan rezim Suriah melalui inisiatif kepala utusan misi PBB, Akhdar Brahimi pada Kamis siang (25/10). Kesepakatan itu menyebutkan penghentian kontak senjata sejak hari raya Idul Adha, Jum’at (26/10) sampai Senin (29/10).
Kalangan mujahidin lapangan FSA sendiri banyak yang menolak kesepakatan tersebut. Para pimpinan FSA yang hadir dan menanda tangani kesepakatan tersebut adalah para perwira tinggi dan politikus sekuler Dewan Transisi Nasional Suriah yang hidup mewah di hotel-hotel di negara tetangga, Turki. Mereka biasa dijuluki tsuwar funduq, revolusioner hotel.
Mayoritas mujahidin FSA yang berjihad di lapangan menghendaki jihad terus berjalan. Namun mereka yang biasa dijuluki tsuwar syawari’, revolusioner jalanan tersebut tidak memiliki suara dalam pentas politik.
Sikap kelompok-kelompok jihad Islam di Suriah lebih jelas lagi. Mereka tidak memiliki kaitan ideologi, politik dan struktur organisasi apapun dengan FSA dan Dewan Transisi Nasional Suriah. Mereka berjihad atas panggilan Islam dan bertujuan menegakkan syariat Islam di Suriah. Mereka menolak gencatan senjata fiktif tersebut.
TV Al-Jazeera melaporkan dua kelompok jihad Islam, Jabhah Nushrah dan Ansharul Islam, secara resmi menyatakan menolak gencatan senjata fiktif tersebut. Mereka tidak peduli dengan kesepakatan fiktif tersebut, secara global maupun terperinci.
Mujahidin Jabhah Nushrah dan Ansharul Islam menilai kesepakatan fiktif itu sebagai konspirasi AS, Rusia dan Barat untuk memberi rezim Suriah waktu lebih banyak guna menyusun ulang kekuatan militernya dan membantai lebih banyak lagi warga sipil muslim Suriah. Hanya ada dua pilihan bagi mujahidin Islam Suriah; menang atau mati syahid.
(muhib almajdi/arrahmah.com)