ANKARA (Arrahmah.id) — Otoritas berwenang Turki menolak permohonan kewarganegaraan dari pengungsi Uighur. Beberapa orang Uighur menyampaikan bahwa mereka dicurigai memiliki kerentanan terhadap keamanan nasional Turki atau tatanan sosial negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan itu.
“Permohonan (kewarganegaraan) seluruh keluarga saya ditolak, termasuk istri dan anak-anak saya,” kata salah seorang pengungsi Uighur, seperti dikutip dari VOA News (17/3/2022).
Adanya komunikasi telepon menjadi alasan Turki menolak kewarganegaraan satu keluarga Uighur pada tahun lalu. Sementara pihak keluarga tidak tahu apa artinya itu.
Organisasi hak asasi menyebutkan, istilah itu bisa berarti orang yang mengajukan permohonan kewarganegaraan telah berkomunikasi dengan seseorang yang terhubung dengan organisasi ekstremis di negara lain, seperti Suriah.
Direktur Institut Penelitian Uighur yang berbasis di Ankara, Erkin Ekrem menjelaskan Wakil Menteri Dalam Negeri Turki Ismail Catakli menyampaikan kepadanya dan perwakilan Uighur pada tahun lalu, bahwa beberapa warga negara asing di Turki, termasuk orang Uighur dari Cina, berisiko terhadap keamanan nasional.
Catakli, kata Ekrem, memberitahu ini terjadi bukan hanya pada beberapa orang Uighur. Sebab ada beberapa warga negara asing lainnya yang mengalami demikian, sehingga perlu waktu untuk melakukan pemeriksaan latar belakang satu per satu.
“Dia memberi tahu kami untuk menunggu dengan sabar tentang kasus mereka. ‘Setelah kami melakukan pemeriksaan latar belakang secara menyeluruh, kami akan menentukan siapa yang memenuhi syarat dan siapa yang tidak’, itulah yang Catakli katakan kepada kami,” kata Ekrem mengutip pernyataan Catakli.
Orang-orang Uighur diketahui berada di seluruh Asia Tengah dan Timur Tengah dengan jumlah yang pastinya sulit dijabarkan. Di Suriah, orang-orang Uighur yang berjuang terhadap kelompok-kelompok militan jumlahnya berkisar dari ratusan hingga ribuan.
Menurut sebuah kelompok hak asasi yang tidak ingin disebutkan namanya karena khawatir akan pembalasan, ada sekitar 8.000 orang Uighur yang menjadi warga negara Turki tahun lalu. Sebagian besar dari 8.000 itu berasal dari Cina. Dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan 50 ribu orang Uighur melarikan diri ke Turki dari Daerah Otonomi Uighur Xinjiang Cina barat.
Salah satunya ialah Alimjan Turdi, seorang Uighur yang meninggalkan Xinjiang lalu ke Turki pada 2013 bersama istri dan tiga putrinya.
“Saya datang ke Turki melarikan diri dari kebijakan asimilasi Cina dalam mengejar pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak saya,” kata Turdi.
Dia menjadi aktivis hak asasi pada 2017, setelah pemerintah Cina menangkap beberapa kerabat dan mantan rekannya serta menahan mereka di kamp-kamp interniran Xinjiang.
“Polisi Cina menghubungi saya di media sosial dan meminta saya bekerja untuk mereka. Mereka mengatakan jika saya ingin membantu kerabat dan kolega saya dan memiliki bisnis yang menguntungkan, saya harus bekerja untuk mereka,” kata dia.
Turdi menolak permintaan itu dan bersama dengan warga Uighur lainnya menjadi aktivis vokal di Turki. Hal ini dilakukan untuk menuntut pembebasan anggota keluarga dari kamp interniran Cina di Xinjiang. Pada Oktober tahun lalu, ia menghentikan aktivitasnya di Turki dan memutuskan meninggalkan negara itu setelah pemerintah Turki menolak permohonan kewarganegaraannya.
Ketika pergi ke kantor imigrasi di Istanbul, Turdi diberitahu permohonan kewarganegaraannya telah ditolak.
“Saya minta penjelasan. Mereka bilang tidak tahu alasannya,” Saya pikir aktivisme saya tidak akan berbahaya bagi Turki,” ujar Turdi.
Kemudian pada Desember lalu, dia meninggalkan Turki kemudian ke Belanda. (hanoum/arrahmah.id)