ANKARA (Arrahmah.com) – Pengadilan Turki pada Rabu (25/7/2018) memerintahkan agar Andrew Brunson, seorang pendeta Amerika yang ditahan selama hampir dua tahun atas tuduhan keterkaitan dengan terorisme, dibebaskan dari penjara dan ditempatkan di bawah tahanan rumah sementara persidangannya berlanjut.
Administrasi Trump telah berulang kali menekan pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk membebaskan Brunson (50), penduduk lama Turki yang terjerat dalam kampanye penangkapan massal mengikuti upaya kudeta terhadap Erdogan di musim panas 2016.
Washington Post melansir bahwa keputusan untuk menempatkan Brunson di bawah tahanan rumah bisa menjadi langkah Turki untuk menyelesaikan kasusnya, sebelum akhirnya mendeportasi, meski Brunson tetap diadili.
Dia menghadapi tuduhan yang mencakup spionase dan kolusi dengan kelompok teroris dan dilarang bepergian, sesuai dengan perintah pengadilan.
Media lokal pada Rabu (25/7) menyebarkan foto-foto Brunson yang dibebaskan dari penjara di kota barat Turki, Aliaga.
Dalam pesan yang diposting di Twitter, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan keputusan pengadilan ini “diterima” Washington tetapi menambahkan bahwa “itu saja tidak cukup”.
“Kami telah melihat tidak ada bukti yang kredibel terhadap penahanan Tuan Brunson, dan meminta otoritas Turki untuk menyelesaikan kasusnya segera dengan cara yang transparan dan adil.”
Kasus Brunson telah menjadi hal yang sangat mengganggu saat hubungan antara Amerika Serikat dan Turki telah tumbuh lebih sengit dalam beberapa tahun terakhir.
Sekutu NATO telah memperdebatkan pemenjaraan warga Amerika di Turki, perang di Suriah dan rencana Turki untuk membeli sistem pertahanan rudal Rusia.
Pejabat AS dan NATO telah mengatakan bahwa rencana pembelian sistem pertahanan udara S-400 Rusia akan menimbulkan risiko keamanan yang serius bagi jaringan aliansi.
Pada saat yang sama, legislasi yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Trump musim panas lalu mengamanatkan sanksi terhadap negara-negara yang melakukan bisnis dengan industri Rusia bidang tertentu, termasuk pertahanan.
Undang-undang itu dapat memengaruhi sejumlah sekutu AS yang juga bernegosiasi dengan Rusia mengenai S-400, termasuk India. Arab Saudi dan Qatar juga telah menyatakan minatnya pada sistem tersebut.
Lebih segera, Turki secara khusus ditargetkan dalam ketentuan-ketentuan baru yang dimasukkan dalam Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2019, dan membuka pintu untuk pembatalan pembelian Turki atas 100 jet tempur F-35 buatan AS.
Dalam sambutannya untuk media pada Rabu (25/7) di Ankara, Erdogan mengindikasikan bahwa Trump telah memberitahunya, ketika keduanya bertemu di KTT NATO di Brussels bulan ini, bahwa kesepakatan F-35 akan terus berlangsung.
“Masalah ini, seperti yang Anda ketahui, benar-benar di tangan presiden AS,” kata Erdogan, mencatat bahwa Turki telah membayar $ 900 juta pada kontrak produksi pesawat temup canggih tersebut.
Melarang pengiriman jet, Erdogan mengatakan, “tidak mungkin.”
Meski tetap bernegosiasi dengan Cina dan Rusia atas sistem pertahanan udara baru, Turki mengatakan bahwa pihaknya akan senang memiliki versi terbaru dari sistem Patriot buatan AS.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, berbicara di panel selama KTT NATO, mengatakan bahwa penyebaran sistem Rusia tidak akan menimbulkan ancaman bagi aliansi.
Masalah besar lainnya antara kedua pemerintah termasuk pemerintah AS berencana untuk menerapkan kembali sanksi atas pembelian minyak dari Iran, termasuk oleh Turki, yang membeli lebih dari setengah pasokan minyak mentahnya dari Teheran.
Kongres telah jauh lebih teguh daripada pemerintah tentang tidak mengizinkan penjualan F-35 jika hal-hal lain tidak dapat diselesaikan.
Dalam surat terbaru kepada anggota parlemen, Menteri Pertahanan Jim Mattis memperingatkan bahwa pengiriman pesawat yang tertunda tidak hanya akan merusak hubungan dengan Turki tetapi juga akan memulai “gangguan rantai pasokan” yang dapat meningkatkan harga pesawat untuk pembeli lain.
Selain bersikeras bahwa Brunson bersalah, Erdogan juga telah mengikat kasusnya dengan tuntutan lain bahwa Amerika Serikat mengekstradisi Fethullah Gulen, seorang ulama Turki yang tinggal di Pennsylvania yang dituduh oleh pemerintah Turki mendalangi kudeta yang gagal.
Dalam pidatonya tahun lalu, ia menyarankan agar Gulen bisa ditukar dengan Brunson.
Gulen membantah terlibat dalam upaya kudeta. Departemen Kehakiman, yang harus mengevaluasi bukti ekstradisi Turki untuk presentasi ke pengadilan federal AS, belum mengambil tindakan apa pun. (Althaf/arrahmah.com)