TURKI (Arrahmah.com) – Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengumumkan pada Selasa (19/5/2015) bahwa sebuah kapal Angkatan Laut Turki telah dikirim ke pantai Thailand dan Malaysia, lokasi terdamparnya ribuan Muslim Rohingya.
Dia mengatakan bahwa Turki telah mengerahkan upaya untuk menjangkau orang-orang di atas kapal dengan kapal Angkatan Laut dan berkoordinasi dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi.
Davutoglu mengeluarkan pernyataan di Ankara dalam pertemuannya dengan anak-anak dari 81 provinsi negara tersebut pada Hari Pemuda dan Olahraga 19 Mei, yaitu hari libur nasional yang berfokus pada para pemuda dengan kegiatan olahraga dan budaya.
Perdana menteri mengatakan, “Ada anak-anak diantara enam ribu orang di atas perahu yang bermaksud menuju Thailand dari Myanmar,” sambil menambahkan bahwa para pemuda itu tidak dapat merayakan 19 Mei.
“Mereka tidak memiliki rencana ke depan bahkan untuk besok,” kata Perdana Menteri Davutoglu, sebagaimana dikutip Jurniscom dari Daily Sabah.
Diperkirakan 4.000 Muslim Rohingya Myanmar, serta pendatang lainnya dari Bangladesh, terdampar dengan sedikit akses untuk makanan dan air setelah Malaysia, Indonesia dan Thailand mengumumkan mereka tidak akan membiarkan kapal migran mendarat di pantai mereka.
Namun pada hari Rabu, Malaysia dan Indonesia mencapai kesepakatan dan mengatakan mereka tidak lagi akan berpaling dari para manusia perahu tersebut, sebuah terobosan dalam menangani krisis migran di kawasan itu yang dilakukan hanya beberapa jam setelah ratusan orang yang kelaparan diselamatkan di laut.
Para menteri luar negeri Malaysia dan Indonesia membuat pengumuman setelah pembicaraan yangjuga dihadiri oleh Thailand mengenai bagaimana menangani para migran yang terdampar, yang sebagian besar berasal dari minoritas Rohingya yang dianiaya di Myanmar.
“Indonesia dan Malaysia sepakat untuk terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada 7.000 migran gelap yang masih berada di laut,” kata Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman bersama mitranya dari Indonesia, Retno Marsude.
“Kami juga sepakat untuk menawarkan mereka tempat penampungan sementara. Proses pemulangan dan pemukiman kembali akan dilakukan dalam satu tahun oleh masyarakat internasional,” tambahnya setelah pertemuan di dekat Kuala Lumpur.
Pemerintah Myanmar pada hari Rabu melarang konferensi bangsa-bangsa Muslim karena mengatakan pertemuan itu mempertaruhkan “destabilisasi” Myanmar, situs berita Irrawaddy melaporkan pada hari Rabu.
The Union Muslims Nationwide Conference direncanakan berlangsung pada 23 Mei tapi Ohn Maung, sekretaris kelompok, mengatakan pemerintah menolak memberikan ijin untuk mengadakan pertemuan tersebut akhir tahun lalu.
Meningkatnya gelombang nasionalisme Buddha disalahkan atas pecahnya kekerasan massal yang sebagian besar menargetkan Muslim Myanmar.
Rohingya, sebuah komunitas besar yang tidak memiliki negara, selama ini tinggal di negara bagian Rakhine di sepanjang Teluk Benggala, dan telah menanggung beban kekerasan.
Sejumlah besar warga Rohingya hidup dalam kondisi seperti apartheid, yaitu di kamp-kamp kumuh, dan rentan terkena penyakit. Warga Rohingya juga telah menghadapi diskriminasi sistematis selama puluhan tahun, termasuk pembatasan kelahiran anak, pernikahan dan pergerakan di seluruh negeri.
PBB memperkirakan bahwa 120.000 muslim Rohingya telah meninggalkan negara Myanmar dengan menaiki perahu dalam tiga tahun terakhir, melarikan diri dalam kondisi yang semakin putus asa dan di bawah ancaman kekerasan sewenang-wenang yang dilakukan oleh umat Buddha Rakhine serta pasukan keamanan lokal.
(banan/arrahmah.com)