ANKARA (Arrahmah.com) –Tidak kurang 300 anggota kelompok perlawanan Suriah Sultan Murad, Divisi Hamza, dan Faylaq Al-Sham telah berangkat ke Azerbaijan dari Turki, Selasa (22/9/2020). Pemberangkatan milisi pro Turki yang tergabung dalam NFL ini dipastikan untuk meredam ketegangan Azerbaijan dengan Armenia yang tengah berkonflik.
Sumber militer mengatakan, sebagaimana dikutip dari STEP News Agency (22/9) bahwa mereka keluar dari wilayah Suriah melalui penyeberangan militer Hor Kilis yang menghubungkan Aleppo dan Turki menuju bandara Gaziantep.
Gelombang pertama yang dikirim dikatakan belum melibatkan kombatan namun hanya penerjemah dan teknisi saja.
Para personel diharapkan dapat menjalin komunikasi awal dengan penduduk setempat agar dapat memetakan tugas-tugas administrasi dan kesiapan tempur lainnya.
Perselisihan utama antara Azerbaijan dan Armenia adalah perebutan wilayah Nagorny Karabakh di perbatasan kedua negara. Pada 1921, Pemerintah Uni Soviet menggabungkan wilayah yang didominasi etnik Armenia dan etnik Azerbaijan tersebut.
Setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, separatis Armenia mengambil wilayah itu dalam sebuah insiden yang didukung oleh Pemerintah Armenia.
Tidak terima wilayahnya direbut, meletuslah pertempuran antara Azerbaijan dan Armenia yang menewaskan 30.000 orang.
Ratusan ribu orang juga menjadi korban dan mengungsi dari rumah mereka.
Pada 1994, Azerbaijan dan Armenia melakukan gencatan senjata yang dimediasi oleh Rusia, Amerika Serikat (AS), dan Perancis.
Namun, pertempuran antara kedua negara masih sering meletus. Pada 2016, terjadi bentrokan hebat yang menyebabkan sekitar 110 orang tewas.
Turki sendiri ingin menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Kaukasus. Aliansi keduanya dipicu oleh saling curiga terhadap Armenia.
Bahkan, Turki secara rutin mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras untuk mendukung ambisi Azerbaijan merebut kembali Nagorny Karabakh.
Armenia sendiri memiliki dendam terhadap Turki karena telah membantai sekitar 1,5 juta orang Armenia di bawah Kesultanan Turki Ottoman selama Perang Dunia I.
Lebih dari 30 negara mengakui pembunuhan itu sebagai genosida, meskipun Turki dengan keras membantah istilah itu. (Hanoum/Arrahmah.com)