ANKARA (Arrahmah.id) — Seorang pejabat Turki menyebut laporan tentang anggota kelompok perlawanan Palestina Hamas yang diminta meninggalkan negaranya di tengah perang Israel-Palestina tidak benar.
Seorang pejabat pemerintah Turki yang tidak disebutkan namanya, dilansir Times of Israel (22/10/2023), mengatakan bahwa laporan pemerintah Turki yang mengusir beberapa pejabat senior Hamas – termasuk Ismail Haniyeh, kepala biro politik Hamas – tidak benar.
Pernyataan tersebut menyusul laporan Al-Monitor yang mengklaim bahwa pihak berwenang Turki tidak puas dengan pernyataan dan perilaku publik Hamas di tengah perang Israel melawan Hamas.
Menurut Al-Monitor, Haniyeh diminta meninggalkan Turki “setelah rekaman beredar di media sosial menunjukkan dia dan anggota Hamas lainnya bersujud dalam “doa syukur” sambil menonton berita penyerbuan tersebut di televisi.”
Contoh lain yang disebutkan termasuk wawancara wakil ketua Hamas Saleh al-Arouri kepada Al Jazeera di mana dia membual bahwa kelompok tersebut “berhasil membunuh dan menangkap banyak tentara Israel.”
Al-Monitor juga memberikan reaksi sumber Palestina terhadap dugaan keputusan tersebut: “Kelompok Palestina, termasuk Hamas, tidak puas dengan sikap Turki. Pernyataannya dipandang tidak memadai.”
Sebelumnya, setelah serangan Hamas, Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, mengutuk tindakan Israel terhadap Gaza dengan menyatakan bahwa mereka menggunakan “metode yang memalukan.”
Dia juga mendukung pemerintah Palestina ketika mereka menyalahkan Israel atas ledakan di rumah sakit Al-Ahli Al-Mahdi di Gaza. Di akun X-nya (sebelumnya Twitter), Erdogan menulis: “Penghancuran rumah sakit yang berisi wanita, anak-anak, dan warga sipil tak berdosa adalah contoh terbaru serangan Israel yang tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.”
Turki juga menyaksikan protes massal pro-Palestina menyusul tragedi rumah sakit di Gaza. Demonstrasi terbaru terjadi pada hari Jumat di Ankara dan Istanbul.
Pada saat yang sama, sejak dimulainya perang Israel-Hamas, Erdogan tetap berhubungan tidak hanya dengan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, tetapi juga dengan Presiden Israel Isaac Herzog, serta para pemimpin Mesir, Lebanon, dan Qatar.
Hal ini menyoroti upaya Turki untuk mencari peran sebagai mediator global. Sebelumnya, Presiden Turki telah berupaya melakukan hal serupa dalam perang Rusia-Ukraina dengan mempromosikan kesepakatan gandum dan pertukaran tahanan antara pihak-pihak yang bertikai. (hanoum/arrahmah.id)